MAKALAH
KLASIFIKASI
ILMU KEISLAMAN
![]() |
Disusun oleh
Rukmana sari
(14510057)
Dosen Pembimbing
Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang
2015
PENDAHULUAN
Membahas tentang ilmu itu
tidak akan ada habisnya, karena ilmu merupakan salah satu dari sifat utama
Allah SWT dan satu-satunya kata yang dapat digunakan untuk menerangkan
pengetahuan Allah SWT. Dalam membahas ilmu tersebut tidak terlepas dari yang
namanya pendekatan, pengkajian, serta metodologi, ketiga kata-kata ini saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lain Sebagian ahli menerangkan bahwa
perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam
menghadapi suatu situasi dimana mereka hidup, menurut pendekatan ini hadirnya
Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi pertama sebagai
pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-persoalan
yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi Muhammad.
Salah satu ilmu yang
menggunakan penalaran adalah ilmu kalam (teologi), yang muncul saat
persoalan politik di masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib,
yang dipakai sebagai alat pemikiran filsafat untuk membalas serangan yang
ditujukan kepada Islam untuk membela keyakinan-keyakinan Islam.
Sehubungan dengan ilmu inilah
maka penulis diberi kesempatan untuk membahas suatu topik makalah yang berjudul
“Klasifikasi Ilmu Keislaman dan Para Paradikmanya”.
Melalui tulisan ini diharapkan semoga dapat bermanfa’at dan berguna.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal
dari bahasa Arab, ‘alima, artinya pengetahuan, dan ini sama dengan kata
dalam bahasa Inggris, science, yang berasal dari bahasa latin, scio atau
scire, yang kemudian di Indonesiakan menjadi sains. Kata
ilmu dalam bahasa Arab yaitu ‘ilm yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti
memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui
masalah-masalah sosial, dan sebagainya. Sehingga dapat diartikan, ilmu adalah
pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu.
Menurut
Jujun S. Suriasumantri, ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak
bangku sekolah dasar sampai penddikan lanjutan dan perguruan tinggi[1]. Fungsi dari
ilmu atau pengetahuan ilmiah adalah menjelaskan, meramal, dan mengontrol.
Ilmu sains
atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan,
dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi
ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan
kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu
diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu
bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik
diuji dengan seperangkat metode yang diakui
dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk
karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang
dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi (filsafat
pengetahuan).
Ilmu atau pengetahuan ilmiah merupakan salah satu jenis
pengetahuan dalam kehidupan manusia. Ilmu adalah pengetahuan sistematis dan
taat asas tentang suatu obyek tertentu, yaitu gejala alamiah, gejala sosial,
dan gejala budaya. Gejala-gejala tersebut relative konkrit, dalam arti dapat
diamati dan dapat diukur. Apabila disusun ciri gejala yang dikaji mulai dari
yang konkrit sampai yang abstrak, maka rumpun dan disiplin ilmu tersusun secara
hierarkis, mulai dari fisika, kimia, biologi; kemudian ilmu social dan ilmu
hukum; sampai falsafah dan ilmu agama.
Ilmu agama Islam merupakan bagian dari rumpun ilmu-ilmu
budaya dan ilmu-ilmu social. ‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadits, ilmu kalam, ilmu
ushul fiqh,ilmu fiqh dan sejenisnya masuk dalam rumpun ilmu budaya (humaniora)
yang bersifat ideal dan normative. Sejarah peradaban Islam, ilmu pendidikan
Islam dan ilmu dakwah masuk dalam rumpun ilmu-ilmu social yang sifatnya aktual
dan empiris. Juga terdapat disiplin ilmu lain yang berkembang terutama dalam
rumpun ilmu-ilmu alamiah, antara lain astronomi dan geologi[2].
Perintah menuntut ilmu dalam Alqur’an dan hadits mendorong
kaum muslimin pada abad pertama hijrah untuk menerjemahkan berbagai buku dari
bahasa Yunani, Persia, India, dan China ke dalam bahasa Arab. Kemudian para
filsuf muslim mengklasifikasi ilmu-ilmu tersebut secara sistematis. Ini menjadi
dasar bagi para ilmuwan muslim untuk mengembangkan sains, terutama ilmu
pengetahuan alam dan ilmu alatnya (matematika dan logika).
Nurcholis Madjid menjelaskan tentang hubungan organik antara
iman dan ilmu Islam. Menurutnya, ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan
untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi
atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya[3].
Sejalan dengan argument ini juga dijelaskan oleh Ibnu Rusyd, seorang filosof
muslim, dalam makalahnya “Fashl al-maqal wa Taqrir ma Bain al-Hikmah wa
al-Syari’ah min al-Ittishal”, bahwa antara iman dan ilmu tidak terpisahkan,
meskipun dapat dibedakan. Dikatakan demikian karena iman tidak saja mendorong bahkan juga menghasilkan ilmu serta
membimbing ilmu dalam pertimbangan moral dan etis dalam penggunaannya. Ilmu
juga berbeda dari iman karena ilmu bersandar pada observasi terhadap alam dan
disusun melalui proses penalaran rasional (berpikir), sedangkan iman bersandar
pada sikap membenarkan atau mendukung pembenaran berita yang dibawa oleh
pembawa berita, yaitu nabi, yang menyampaikan berita tersebut kepada umat
manusia selaku utusan Allah (Rasul)[4].
B.
Klasifikasi Ilmu Keislaman
Menurut Dr. M. Quraish Shihab
dalam bukunya “Membumikan Alqur’an”[5],
Alqur’an menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan artinya
sebanyak 854 kali, salah satunya sebagai “proses pencapaian pengetahuan dan
objek pengetahuan” (QS. Al-Baqarah ayat 31-32). Pembicaraan tentang ilmu
mengantarkan kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping
klasifikasi dan ragam disiplinnya. Saat ini, ahli keislaman berpendapat bahwa
ilmu menurut Alqur’an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi
manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau
metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi
ilmu yang digunakan oleh para filosof (muslim/ non muslim) pada masa-masa
silam, para pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional
Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua
kategori:
1) Ilmu abadi (perennial knowledge)
yang berdasarkan kepada wahyu Ilahi yang tertera dalam Alqur’an dan Hadits
serta segala yang dapat diambil dari keduanya.
2) Ilmu yang dicari (acquired
knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang
secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antar budaya
selama ida bertentangan denga syari’ah sebagai sumber nilai.
Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa dari sudut normative Islam adalah wahyu yang bersifat mutlak
(absolute), sehingga kepadanya tidak dapat diberlakukan paradigma ilmu
pengetahuan yang sifatnya nisbi (relative). Jadi sebagai agama, Islam lebih
bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Jika dilihat dari sudut
historis, yaitu Islam dalam arti yang dipraktekkan oleh manusia serta tumbuh
dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan
sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman atau studi Islam.
Ilmu keislaman merupakan ilmu
yang berhubungan tentang segala hal yang bertalian dengan agama Islam. Ilmu ini
telah dirumuskan sekitar abad ke-2, 3, dan 4 Hijriyah atau abad ke-8, 9, dan 10
Masehi. Pada abad tersebut keilmuan memperoleh kemajuan yang luar biasa,
lahirnya sejumlah ahli-ahli di bidang ilmu keislaman memperlihatkan ramainya pembahasan ilmiah dibidang
ini. Pada periode ini telah muncul para mujtahid besar yang mungkin tidak dapat
ditandingi mujtahid periode manapun. Berdasarkan sejarah perkembangan tersebut,
ilmu-ilmu keislaman dapat diklasifikasikan sebagaimana yang dikelompokkan oleh
Harun Nasution berikut ini[6]:
a) Kelompok dasar, meliputi:
tafsir, hadits, aqidah/ ilmu kalam, filsafat Islam, tasawuf, tarekat,
perbandingan agama, serta perkembangan modern dalam ilmu-ilmu tafsir, hadits,
ilmu kalam dan filsafat.
b) Kelompok cabang, meliputi:
1. Ajaran yang mengatur
masyarakat, terdiri dari ushul fiqh, fikih muamalah, fikih ibadah, fikih
siyasah, peradilan, dan perkembangan modern.
2. Peradaban Islam, mencakup:
Ø Sejarah Islam, termasuk
didalamnya sejarah politik, ekonomi, administrasi, kemiliteran, kepolisian, dan
lain-lain.
Ø Sejarah pemikiran Islam
meliputi ilmu kalam, filsafat dan tasawuf.
Ø Sains Islam
Ø Budaya Islam, meliputi
arsitektur, kaligrafi, seni lukis, seni tari, musik, dan lain-lain.
Ø Studi kewilayahan Islam.
3. Bahasa-bahasa dan sastra Islam
terutama bahasa dan sastra Arab.
4. Pengajaran Islam kepada anak
didik, mencakup ilmu pendidikan Islam, filsafat pendidikan Islam, sejarah
pendidikan Islam, lembaga pendidikan Islam, dan perkembangan modern dalam
pendidikan Islam.
5. Penyiaran Islam, mencakup
sejarah dakwah, metode dakwah, materi dakwah, perkembangan modern dalam dakwah
Islam, dan lain sebagainya.
Ditinjau dari segi pembidangan atau klasifikasi, kelompok
dasar dan cabang di atas maka dibagi menjadi bidang-bidang berikut:
1. Sumber ajaran Islam, mencakup
ilmu Alqur’an, tafsir, hadits, dan pembaharuan dalam bidang tersebut.
2. Pemikiran dasar Islam,
mencakup ilmu kalam, filsafat, tasawuf dan tarekat, perbandingan agama, serta
pembaharuan dalam bidang tersebut.
3. Pranata sosial, mencakup ushul
fikih ekonomi, dan pranata-paranata bidang sosal lainnya, serta pembaharuan
dalam bidang tersebut.
4. Sejarah dan peradaban Islam,
mencakup sejarah politik, sejarah ekonomi, sejarah administrasi, sejarah
kemiliteran, sejarah pemikiran Islam, budaya Islam dan studi kewilayahan Islam,
serta pembaharuan dalam bidang tersebut.
5. Bahasa dan sastra Islam,
mencakup sastra dan bahasa Arab serta pembaharuan dibidang ini.
6. Pendidikan Islam
7. Dakwah Islam
8. Perkembangan modern dalam
Islam/ pembaharuan dalam berbagai disiplin ilmu, mencakup bidang-bidang sumber
pemikiran dasar, pranata social, pendidikan, dakwah, sejarah, peradaban, serta
bahasa dan sastra.
Para filosofi muslim membagi ilmu kepada ilmu yang
berguna dan yang tak berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan
ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi,logika, etika,
dan bersama disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi
dan numerology (ilmu nujum yang menggunakan bilangan) dimasukkan dalam kategori
ilmu yang tidak berguna. Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofi ke
dalam beberapa wilayah seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu
politik, yurispudensi dan teologi dialeksis. Beliau memberi perincian ilmu-ilmu
religius (ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fikih langsung mengikuti
perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika dan ilmu
politik. Al-Ghazali membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah (wahyu) dan
ilmu aqliyyah. Dr. Muhammad Al- Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya,
yaitu ilmu yang bersumber dari Tuhan dan ilmu yang bersumber dari manusia.
Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu ilmu qadim dan ilmu hadis
(baru). Ilmu qadim adalah ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dari ilmu
hadis yang dimiliki manusia sebagai hamba-Nya.
Klasifikasi Al-Ghazali tentang ilmu syar’iyyah (wahyu)
dan ilmu aqliyyah:
A)
Ilmu syar’iyyah
1. Ilmu tentang prinsip-prinsip
dasar (al-ushul), meliputi:
a.
Ilmu tentang keesaan tuhan (al-tauhid)
b.
Ilmu tentang kenabian
c.
Ilmu tentang akhirat atau eskatologis
d.
Ilmu tentang sumber pengetahuan religius, yaitu Alqur’an dan
Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi
menjadi dua kategori, yaitu ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat), dan ilmu-ilmu
pelengkap yang terdiri dari ilmu qur’an, ilmu riwayat al-hadits, ilmu ushul
fiqh, dan biografi para tokoh.
2. Ilmu tentang cabang-cabang
(Furu’)
a.
Ilmu tentang kewajiban manusia dengan Tuhan (ibadah)
b.
Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat
c.
Ilmu tentang kewajiban manusia jiwanya sendiri (ilmu akhlak)
B)
Ilmu Aqliyyah
1. Matematika, mencakup
aritmatika, geometri, astronomi, astrologi dan music
2. Logika
3. Fisika/ilmu alam, mencakup
kedokteran, meteorology, minerologi, kimia
4. Ilmu tentang wujud di luar
alam, atau metafisika.
Demikian sekilas penjelasan
tentang ilmu-ilmu dalam Islam, baik dalam sejarah pemikirannya, maupu wacana
yang berkembang bahwa ilmu Islam tidak lepas dari wawasan Allah SWT yang
merupakan sumber pengetahuan, meski kemudian mengalami penyikapan-penyikapan ilmiah
yang berbeda-beda dari para filosof dan ilmuan muslim yang masing-masing
memiliki corak dan bentuk yang berbeda, karena adanya perbedaan dalam hal
penekanan penerapan metodologis-filosofis yang berbeda pula.
C.
Pengertian Paradigma
Pendidikan Islam
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola
pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra
subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana
seseorang menanggapi realita itu. Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan
Thomas Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The
Univesity of Chicago Prerss, 1970).Paradigma di sini diartikan Khun sebagai
kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau
pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton (1975) mendefinisikan
pengertian paradigma hampir sama dengan Khun, yaitu sebagai “a world view, a
general perspective, a way of breaking down of the complexity of the real world
[suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk
menguraikan kompleksitas dunia nyata].”
Kemudian Robert Friedrichs (1970) mempertegas definisi
tersebut sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain
dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai
pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu
pengetahuan. Akhirnya, saya berharap semoga blog ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua khususnya bagi saya pribadi. Masalah pendidikan merupakan
masalah yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian
kehidupan manusia.
Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah
kegiatan mulia yang akan mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang
memanusiakan. Pandangan bahwa pendidikan sebagai kegiatan yang sangat sakral
dan mulia telah lama diyakini oleh manusia. Namun di dekade 70-an dua orang
tokoh pendidikan, yaitu Paulo Freire dan Ivan Illich melontarkan kritik yang
sangat mendasar tentang asumsi tersebut. Mereka menyadarkan banyak orang bahwa
pendidikan yang selama ini disakralkan dan diyakini mengandung nilai-nilai
kebajikan tersebut ternyata mengandung penindasan.
Pendidikan merupakan suatu perbuatan, tindakan, dan
praktek.Namun, demikian pendidikan tidak dapat diartikan sebgai satu hal yang
mudah, sederhana, dan tidak memerlukan pemikiran. Karena istilah pendidikan
sebagai praktek, mengandung implikasi pemahaman akan arah dan tujuannya.2
Karenanya proses pendidikan itu bukan hanya sekedar lahiriah dan suatu prilaku
kosong saja. Pendidikan tidak diarahkan untuk pendidikan itu sendiri, melainkan
diarahkan untuk pencapaian maksud, arah, dan tujuan di masa yang akan datang.
Dengan demikian, dimensi waktu dalam pendidikan tidak hanya terbatas pada waktu
sekarang, yaitu saat berlangsung pendidikan tersebut. Tetapi, pendidikan
diarahkan pada sikap, prilaku, dan kemampuan serta pengetahuan yang diharapkan
akan menjadi pegangan bagi anak didik dalam melaksanakan tugas hidupnya secara
bertanggung jawab dan dapat menjadi manusia yang seutuhnya, sebagaimana yang
menjadi tujuan utama dalam pendidikan.
Menurut Muhammad Iqbal, pendidikan bukan hanya proses
belajar mengajar belaka untuk mentransformasikan pengetahuan dan berlangsung
secara sederhana dan mekanistik. Melainkan, pendidikan adalah keseluruhan yang
mempengaruhi kehidupan perseorangan maupun kelompok masyarakat, yang seharusnya
menjamin kelangsungan kehidupan budaya dan kehidupan bersama memantapkan
pembinaan secara intelegen dan kreatif. Proses pendidikan ini mencakup
pembinaan diri secara integral untuk mengantarkan manusia pada kesempurnaan
kemanusiannya tanpa mesti terbatasi oleh sistem transformasi pengetahuan secara
formal dalam lingkungan akademis. Pada akhirnya, pendidikan dalam arti luas
mencakup penyelesaian masalah-masalah manusia secara umum dan mengantarkan
manusia tersebut pada tujuan hidupnya yang mulia.
Menurut Freire, pendidikan bukan hanya kegiatan
pengembangan kognitif anak didik, melainkan pendidikan memiliki kaitan yang
erat dengan cinta dan keberanian. Sesungguhnya menurut Freire, pendidikan ialah
tindakan cinta kasih dan karena itu juga merupakan tindakan berani. Pendidikan
tidak boleh membuat orang yang akan menganalisis realitas menjadi takut.
Kualitas yang dihasilkan dari output pendidikan sangat ditentukan oleh proses yang terjadi dalam interaksi pendidikan. Keseluruhan proses dan metode dalam pendidikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan ditentukan berdasarkan pilihan paradigma yang dijadikan dasar dalam pendidikan.Dari asumsi tersebut terlihat betapa paradigma dalam pendidikan menjadi sesuatu hal yang fundamental dan menentukan hasil dari pendidikan. Baik dan buruknya output dari pendidikan sangat ditentukan oleh paradigma pendidikan yang dianut. [7]
Kualitas yang dihasilkan dari output pendidikan sangat ditentukan oleh proses yang terjadi dalam interaksi pendidikan. Keseluruhan proses dan metode dalam pendidikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan ditentukan berdasarkan pilihan paradigma yang dijadikan dasar dalam pendidikan.Dari asumsi tersebut terlihat betapa paradigma dalam pendidikan menjadi sesuatu hal yang fundamental dan menentukan hasil dari pendidikan. Baik dan buruknya output dari pendidikan sangat ditentukan oleh paradigma pendidikan yang dianut. [7]
D.
Macam-macam Paradigma
Henry Giroux dan Arronnawitz
membagi paradigma pendidikan ke dalam tiga aliran utama, yaitu[8] :
1. Paradigma
konservatif
Yaitu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada
pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi. Paradigma
pendidikan konservatif sangat mengidealkan masa silam (past oriented) sebagai
patron ideal dalam pendidikan. Paradigma konservatif melahirkan jenis kesadaran
sebagaimana yang disebutkan oleh Paulo Freire, sebagai kesadaran magis.Yaitu
jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan antara satu faktor dengan faktor
lainnya sebagai hal yang berkaitan.Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar
kesadaran manusia sebagai penyebab dari segala kejadian.
2. Paradigma
pendidikan liberal
yaitu paradigma pendidikan yang berorientasi mengarahkan
peserta didik pada prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan mengejar
prestasi individual. Sehingga yang terjadi adalah persaingan individual yang
akan mengarahkan peserta didik pada individualisme dan tidak melihat pendidikan
sebagai proses pengembangan diri secara kolektif. Paradigma pendidikan liberal
melahirkan bentuk kesadaran naif.Yaitu jenis kesadaran ini menganggap aspek
manusia secara individulah yang menjadi penyebab dari akar permasalahan.
3. Paradigma
pendidikan kritis
Yaitu paradigma pendidikan yang menganut bahwa pendidikan
adalah diorientasikan pada refleksi kritis terhadap sistem dan struktur sosial
yang menyebabkan terjadinya berbagai ketimpangan. Paradigma pendidikan kritis
mengarahkan peserta didik pada kesadaran kritis, yaitu jenis kesadaran yang
melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling terkait satu
sama lain.
Paradigma pendidikan sangat berimplikasi terhadap
pendekatan dan metodologi pendidikan dan pengajaran.Salah satu bentuk implikasi
tersebut adalah perbedaan bentuk dalam pola belajar mengajar antara pola paedagogy
dengan pola andragogy.
Bagi Freire, selaku tokoh penggagas pendidikan kritis.
Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan
dirinya sendiri. Pengenalan akan realitas bagi Freire tidak hanya bersifat
objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya secara sinergis. Objektivitas
dan subjektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling
bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis, kesadaran
subjektif dan kemampuan objektif adalah dua fungsi dialektis yang konstan/tetap
dalam diri manusia. Oleh karena itulah menurut Freire, pendidikan harus tampil
metode yang mengarahkan manusia pada perwujudan kesadaran subjektif yang kritis
dan pemahaman akan realitas yang objektif dan akan mengantarkan manusia pada
suatu kesadaran kritis yang konstruktif dalam membangun dunianya ke arah yang
lebih konstruktif.
Untuk memahami pendidikan Islam tidak bisa dilakukan
hanya dengan melihat sepotong apa yang ditemukan dalam realitas penyelenggaraan
pendidikan Islam, tapi mesti melihatnya dari sistem nilai yang menjadi landasan
paradigmanya. Hasan Langgulung menyatakan sangat keliru jika mengkaji
pendidikan Islam hanya dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul dalam
sejarah Islam, dari kurikulum, apalagi hanya dari metode mengajar, dan
melepaskan
masalah idiologi Islam.Idiologi atau paradigma pendidikan Islam merupakan gambaran utuh tentang ketuhanan, alam semesta, dan tentang manusia yang dikaitkan dengan semua teori pendidikan Islam sehingga semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.Sehingga diperlukan suatu paya untuk menegaskan kembali paradigma yang diperlukan untuk mengembangkan pendidikan Islam.
masalah idiologi Islam.Idiologi atau paradigma pendidikan Islam merupakan gambaran utuh tentang ketuhanan, alam semesta, dan tentang manusia yang dikaitkan dengan semua teori pendidikan Islam sehingga semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.Sehingga diperlukan suatu paya untuk menegaskan kembali paradigma yang diperlukan untuk mengembangkan pendidikan Islam.
Dalam pelaksanaan pendidikan sebagai proses timbal balik
antara pendidik dengan anak didik melibatkan faktor-faktor pendidikan guna
mencapai tujuan tujuan pendidikan dengan didasari nilai-nilai tertentu.
Nilai-nilai tertentu itulah kemudian disebut sebagai dasar paradigma
pendidikan.Istilah dasar paradigma pendidikan dimaksudkan sebagai landasan
tempet berpijak atau pondasi berdirinya suatu sistem pendidikan.
Dasar paradigma pendidikan Islam identik dengan dasar
Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-quran dan
al-Hadis. Dari kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai
masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah
pendidikan Islam.(Muhaimin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
pemikirannya).Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah
rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip,
teori, dan teknik pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan dalam
Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan,
baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan
yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Karena fungsi
pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian
yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah
masyarakat.Dalam lintasan sejarah peradapan Islam peran pendidikan ini
benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi
peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab
hingga Eropa Timur.Untuk itu adanya sebuah paradigma pendidikan yang
memberdayakan peserta didik erupakan sebuah keniscayaan.Kemajuan peradaban dan
kebudayaan Islam tidak lepas dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang
dilaksanakan pada masa itu.
Kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di
kalangan umat Islam ini tidak muncul secara tiba-tiba, spontan atau mendadak.
Kesadaran ini muncul dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal
Islam (masa Rasul Muhammad) Pada masa itu Muhammad senantiasa menanamkan
kesadaran pada sahabat dan pengikutnya akan urgensi ilmu dan selalu mendorong
umat Islam untuk senantiasa menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
hadis yang menjelaskan tentang urgrnsi dan keutamaan ilmu dan orang yang memiliki
pengetahuan.
Setelah Muhammad wafat, para sahabat dan umat Islam
secara umum tetap melanjutkan misi ini dengan menanamkan kesadaran akan urgensi
ilmu pengetahuan kepada generasi-generasi sesudahnya, sehingga kesadaran ini
menjadi darah daging di kalangan umat Islam dan mencapai puncaknya pada abad XI
sampai awal abad XIII M. Namun cikal bakal pendidikan Islam dalam sebuah
institusi baru dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab (Nasr,1994).
Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar bin
Khatab mengirimkan petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara
sumber bagi masyarakat Islam di wilayah tersebut. Mereka biasanya bermukim di
masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada Umat Islam melalui
khalaqoh-khalaqoh majlis khusus untuk mempelajari agama dan mengkaji disiplin
dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Istitusi pendidikan Islam yang modern baru muncul pada akhir abad X M. Dengan didirikannya perguruan (universitas) Al-Azhar di Kairo.Selain dilengkapi oleh perpustakaan dan laboratorium juga sudah diberlakukan kurikulum pengajaran yang berisi disiplin-disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik.Kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang berimbang.Makdunya selain ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu-ilmu akal sepertilogika, kedokteran, geografi, matematika dsb.
Istitusi pendidikan Islam yang modern baru muncul pada akhir abad X M. Dengan didirikannya perguruan (universitas) Al-Azhar di Kairo.Selain dilengkapi oleh perpustakaan dan laboratorium juga sudah diberlakukan kurikulum pengajaran yang berisi disiplin-disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik.Kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang berimbang.Makdunya selain ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu-ilmu akal sepertilogika, kedokteran, geografi, matematika dsb.
Istitusi pendidikan Islam yang ideal pada masa itu yang
lainnya adalah madrasah Nizamiyah.Perguruan ini sudah menggunakan sistem
sekolah. Arinya telah ditentukan waktu penerimaan siswa, tes kenaikan, ujian
akhir sekolah, pengelolaan dana sendiri, kelengkapan fasilitas, perekrutan
tenaga pengajar yang selektif, dan pemberian bea siswa untuk siswa berprestasi.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki
kapabilitas yang tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan
benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah.Sehingga kebebasan
akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar
dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu
melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan
perpustakaan istana pun terbuka untuk umum.(Ahmad Warid Khan Okt 1998).Namun
setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun
mengalami kemunduran. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami perubahan besar
dari sebuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan
agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses
pembentukan diri anak didik agar sesuai dengan fitrah keberadaannya
(al-Attas,1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen
dalam dunia pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dan
potensi yang dimilikinya secara maksimak.Pada kejayaan Islam, pendidikan telah
mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik.Namun
seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut
mengalami kemundurun.
Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam terdapat
beberapa hal yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan menempatkan
dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang
paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre intelektual
senantiasa dilandasi oleh, Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifatas
pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual
senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh
aktifitas adalah upaya menegakan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya
perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam
kurikulum pendidikan.Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia
pendidikan adalah kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada pengembangan
ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu,
penyeimbangan antara materi agama dan non agama dalam dunia Islam adalah sebuah
keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah
masyarakat.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas
akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.Karena selama
masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi
perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah
pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan, minimal membuka kembali sekat
dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah
pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang
lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya
dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan
yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi
dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain
itu materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang ada, setidaknya selalu ada materi dapat diaplikasikan dan memiliki relasi
dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan
Islam akan mampu manghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi
tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
Kelima, Adanya perhatian dan dukungan dari para pemimpin
(pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam
ini. Adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah akan mempercepat penemuan
kembali peradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya
diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya
sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat[9].
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu
adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu.
Para ilmuan berbeda-beda dalam
mengklasifikasi ilmu, ada yang berdasarkan dari segi sejarah, segi pembidangan
atau klasifikasi, ilmu yang berguna dan yang tak berguna, dari segi syar’iyyah
dan aqliyyah, dan ada juga dari segi sumbernya.
Penggunaan akal sangat besar pengaruhnya dalam membahas
masalah-masalah keagamaan dalam Islam, yang tidak hanya dijumpai dalam filsafat
Islam tapi juga ada dalam bidang ilmu kalam, tasawuf, ushul fiqh, dan sains.
B.
Kritik dan
saran
Penulis banyak berharap para pembaca
yang budiman sudi memberikan kritik dan saran apapun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan
berikutnya.Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Bisri M. Djaelani, Ensklopedi
Islam, cet. I ,Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan
Alqur’an, cet. 13 Bandung: Mizan, 1996.
H. A. Mukti Ali, Memahami
Beberapa Aspek Ajaran Islam, cet.1. Bandung: Mizan, 1991.
Harun Nasution, Falsafah
dan Misticisme dalam Islam, Jakarata: Bulan Bintang, 1973.
Henri Marginau dan David
Bergamini, The Scientist, New York: Time Corporated, 1964.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Mircea Aliade, W.C. Smith,
et.all, Metodologi Studi Agama, penerj. Ahmad Norma Permata, cet. 1,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Nurcholish Madjid, Islam
Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah,
Jakarta: Paramadina, 1995.
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar,
MA., Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo,
2004.
[1] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 19.
[2] Lihat: Henri Marginau dan David Bergamini, The
Scientist, (New York: Time Corporated, 1964), hlm. 86-99.
[3] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban:
Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995), hlm. 3-4.
[4] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 18.
[6] Harun Nasution, Klasifikasi Ilmu dan Tradisi
Peneliian Islam: Sebuah Perspektif, dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan, Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung:
Nuansa, 1998), hlm. 7-8.
[7] Harun
Nasution, Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Peneliian Islam: Sebuah Perspektif,
dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan
Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998), hlm. 20-29
[8] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar,
MA., Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo,
2004. Hlm.50-57
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.hlm.30-35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar