Jumat, 20 Juli 2018

Makalah Klasifikasi Ilmu Keislaman



MAKALAH
KLASIFIKASI ILMU KEISLAMAN



lambang.jpg
 









Disusun oleh
Rukmana sari
(14510057)

Dosen Pembimbing






Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
2015



PENDAHULUAN

Membahas tentang ilmu itu tidak akan ada habisnya, karena ilmu merupakan salah satu dari sifat utama Allah SWT dan satu-satunya kata yang dapat digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT. Dalam membahas ilmu tersebut tidak terlepas dari yang namanya pendekatan, pengkajian, serta metodologi, ketiga kata-kata ini saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain Sebagian ahli menerangkan bahwa perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat cara pendekatan yang  ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi dimana mereka hidup, menurut pendekatan ini hadirnya Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi Muhammad.
Salah satu ilmu yang menggunakan penalaran adalah ilmu kalam (teologi), yang muncul saat persoalan politik di masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, yang dipakai sebagai alat pemikiran filsafat untuk membalas serangan yang ditujukan kepada Islam untuk membela keyakinan-keyakinan Islam.
Sehubungan dengan ilmu inilah maka penulis diberi kesempatan untuk membahas suatu topik makalah yang berjudul “Klasifikasi Ilmu Keislaman dan Para Paradikmanya”. Melalui tulisan ini diharapkan semoga dapat bermanfa’at dan berguna.












PEMBAHASAN


A.    Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alima, artinya pengetahuan, dan ini sama dengan kata dalam bahasa Inggris, science, yang berasal dari bahasa latin, scio atau scire, yang kemudian di Indonesiakan menjadi sains. Kata ilmu dalam bahasa Arab yaitu ‘ilm yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya. Sehingga dapat diartikan, ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai penddikan lanjutan dan perguruan tinggi[1]. Fungsi dari ilmu atau pengetahuan ilmiah adalah menjelaskan, meramal, dan mengontrol.
Ilmu sains atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.  Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi (filsafat pengetahuan).
Ilmu atau pengetahuan ilmiah merupakan salah satu jenis pengetahuan dalam kehidupan manusia. Ilmu adalah pengetahuan sistematis dan taat asas tentang suatu obyek tertentu, yaitu gejala alamiah, gejala sosial, dan gejala budaya. Gejala-gejala tersebut relative konkrit, dalam arti dapat diamati dan dapat diukur. Apabila disusun ciri gejala yang dikaji mulai dari yang konkrit sampai yang abstrak, maka rumpun dan disiplin ilmu tersusun secara hierarkis, mulai dari fisika, kimia, biologi; kemudian ilmu social dan ilmu hukum; sampai falsafah dan ilmu agama.
Ilmu agama Islam merupakan bagian dari rumpun ilmu-ilmu budaya dan ilmu-ilmu social. ‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadits, ilmu kalam, ilmu ushul fiqh,ilmu fiqh dan sejenisnya masuk dalam rumpun ilmu budaya (humaniora) yang bersifat ideal dan normative. Sejarah peradaban Islam, ilmu pendidikan Islam dan ilmu dakwah masuk dalam rumpun ilmu-ilmu social yang sifatnya aktual dan empiris. Juga terdapat disiplin ilmu lain yang berkembang terutama dalam rumpun ilmu-ilmu alamiah, antara lain astronomi dan geologi[2].
Perintah menuntut ilmu dalam Alqur’an dan hadits mendorong kaum muslimin pada abad pertama hijrah untuk menerjemahkan berbagai buku dari bahasa Yunani, Persia, India, dan China ke dalam bahasa Arab. Kemudian para filsuf muslim mengklasifikasi ilmu-ilmu tersebut secara sistematis. Ini menjadi dasar bagi para ilmuwan muslim untuk mengembangkan sains, terutama ilmu pengetahuan alam dan ilmu alatnya (matematika dan logika).
Nurcholis Madjid menjelaskan tentang hubungan organik antara iman dan ilmu Islam. Menurutnya, ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya[3]. Sejalan dengan argument ini juga dijelaskan oleh Ibnu Rusyd, seorang filosof muslim, dalam makalahnya “Fashl al-maqal wa Taqrir ma Bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal”, bahwa antara iman dan ilmu tidak terpisahkan, meskipun dapat dibedakan. Dikatakan demikian karena iman tidak saja mendorong bahkan juga menghasilkan ilmu serta membimbing ilmu dalam pertimbangan moral dan etis dalam penggunaannya. Ilmu juga berbeda dari iman karena ilmu bersandar pada observasi terhadap alam dan disusun melalui proses penalaran rasional (berpikir), sedangkan iman bersandar pada sikap membenarkan atau mendukung pembenaran berita yang dibawa oleh pembawa berita, yaitu nabi, yang menyampaikan berita tersebut kepada umat manusia selaku utusan Allah (Rasul)[4].

B.     Klasifikasi Ilmu Keislaman
Menurut Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Alqur’an”[5], Alqur’an menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali, salah satunya sebagai “proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan” (QS. Al-Baqarah ayat 31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya. Saat ini, ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu menurut Alqur’an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof (muslim/ non muslim) pada masa-masa silam, para pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua kategori:
1)      Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan kepada wahyu Ilahi yang tertera dalam Alqur’an dan Hadits serta segala yang dapat diambil dari keduanya.
2)      Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antar budaya selama ida bertentangan denga syari’ah sebagai sumber nilai.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dari sudut normative Islam adalah wahyu yang bersifat mutlak (absolute), sehingga kepadanya tidak dapat diberlakukan paradigma ilmu pengetahuan yang sifatnya nisbi (relative). Jadi sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Jika dilihat dari sudut historis, yaitu Islam dalam arti yang dipraktekkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman atau studi Islam.
Ilmu keislaman merupakan ilmu yang berhubungan tentang segala hal yang bertalian dengan agama Islam. Ilmu ini telah dirumuskan sekitar abad ke-2, 3, dan 4 Hijriyah atau abad ke-8, 9, dan 10 Masehi. Pada abad tersebut keilmuan memperoleh kemajuan yang luar biasa, lahirnya sejumlah ahli-ahli di bidang ilmu keislaman  memperlihatkan ramainya pembahasan ilmiah dibidang ini. Pada periode ini telah muncul para mujtahid besar yang mungkin tidak dapat ditandingi mujtahid periode manapun. Berdasarkan sejarah perkembangan tersebut, ilmu-ilmu keislaman dapat diklasifikasikan sebagaimana yang dikelompokkan oleh Harun Nasution berikut ini[6]:
a)      Kelompok dasar, meliputi: tafsir, hadits, aqidah/ ilmu kalam, filsafat Islam, tasawuf, tarekat, perbandingan agama, serta perkembangan modern dalam ilmu-ilmu tafsir, hadits, ilmu kalam dan filsafat.
b)      Kelompok cabang, meliputi:
1.      Ajaran yang mengatur masyarakat, terdiri dari ushul fiqh, fikih muamalah, fikih ibadah, fikih siyasah, peradilan, dan perkembangan modern.
2.      Peradaban Islam, mencakup:
Ø  Sejarah Islam, termasuk didalamnya sejarah politik, ekonomi, administrasi, kemiliteran, kepolisian, dan lain-lain.
Ø  Sejarah pemikiran Islam meliputi ilmu kalam, filsafat dan tasawuf.
Ø   Sains Islam
Ø  Budaya Islam, meliputi arsitektur, kaligrafi, seni lukis, seni tari, musik, dan lain-lain.
Ø  Studi kewilayahan Islam.
3.      Bahasa-bahasa dan sastra Islam terutama bahasa dan sastra Arab.
4.      Pengajaran Islam kepada anak didik, mencakup ilmu pendidikan Islam, filsafat pendidikan Islam, sejarah pendidikan Islam, lembaga pendidikan Islam, dan perkembangan modern dalam pendidikan Islam.
5.      Penyiaran Islam, mencakup sejarah dakwah, metode dakwah, materi dakwah, perkembangan modern dalam dakwah Islam, dan lain sebagainya.

Ditinjau dari segi pembidangan atau klasifikasi, kelompok dasar dan cabang di atas maka dibagi menjadi bidang-bidang berikut:
1.      Sumber ajaran Islam, mencakup ilmu Alqur’an, tafsir, hadits, dan pembaharuan dalam bidang tersebut.
2.      Pemikiran dasar Islam, mencakup ilmu kalam, filsafat, tasawuf dan tarekat, perbandingan agama, serta pembaharuan dalam bidang tersebut.
3.      Pranata sosial, mencakup ushul fikih ekonomi, dan pranata-paranata bidang sosal lainnya, serta pembaharuan dalam bidang tersebut.
4.      Sejarah dan peradaban Islam, mencakup sejarah politik, sejarah ekonomi, sejarah administrasi, sejarah kemiliteran, sejarah pemikiran Islam, budaya Islam dan studi kewilayahan Islam, serta pembaharuan dalam bidang tersebut.
5.      Bahasa dan sastra Islam, mencakup sastra dan bahasa Arab serta pembaharuan dibidang ini.
6.      Pendidikan Islam
7.      Dakwah Islam
8.      Perkembangan modern dalam Islam/ pembaharuan dalam berbagai disiplin ilmu, mencakup bidang-bidang sumber pemikiran dasar, pranata social, pendidikan, dakwah, sejarah, peradaban, serta bahasa dan sastra.
            Para filosofi muslim membagi ilmu kepada ilmu yang berguna dan yang tak berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi,logika, etika, dan bersama disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerology (ilmu nujum yang menggunakan bilangan) dimasukkan dalam kategori ilmu yang tidak berguna. Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofi ke dalam beberapa wilayah seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, yurispudensi dan teologi dialeksis. Beliau memberi perincian ilmu-ilmu religius (ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fikih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika dan ilmu politik. Al-Ghazali membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah (wahyu) dan ilmu aqliyyah. Dr. Muhammad Al- Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya, yaitu ilmu yang bersumber dari Tuhan dan ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu ilmu qadim dan ilmu hadis (baru). Ilmu qadim adalah ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dari ilmu hadis yang dimiliki manusia sebagai hamba-Nya.

            Klasifikasi Al-Ghazali tentang ilmu syar’iyyah (wahyu) dan ilmu aqliyyah:
A)       Ilmu syar’iyyah
1.      Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul), meliputi:
a.         Ilmu tentang keesaan tuhan (al-tauhid)
b.         Ilmu tentang kenabian
c.         Ilmu tentang akhirat atau eskatologis
d.        Ilmu tentang sumber pengetahuan religius, yaitu Alqur’an dan Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat), dan ilmu-ilmu pelengkap yang terdiri dari ilmu qur’an, ilmu riwayat al-hadits, ilmu ushul fiqh, dan biografi para tokoh.
2.      Ilmu tentang cabang-cabang (Furu’)
a.         Ilmu tentang kewajiban manusia dengan Tuhan (ibadah)
b.         Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat
c.         Ilmu tentang kewajiban manusia jiwanya sendiri (ilmu akhlak)
B)       Ilmu Aqliyyah
1.      Matematika, mencakup aritmatika, geometri, astronomi, astrologi dan music
2.      Logika
3.      Fisika/ilmu alam, mencakup kedokteran, meteorology, minerologi, kimia
4.      Ilmu tentang wujud di luar alam, atau metafisika.
Demikian sekilas penjelasan tentang ilmu-ilmu dalam Islam, baik dalam sejarah pemikirannya, maupu wacana yang berkembang bahwa ilmu Islam tidak lepas dari wawasan Allah SWT yang merupakan sumber pengetahuan, meski kemudian mengalami penyikapan-penyikapan ilmiah yang berbeda-beda dari para filosof dan ilmuan muslim yang masing-masing memiliki corak dan bentuk yang berbeda, karena adanya perbedaan dalam hal penekanan penerapan metodologis-filosofis yang berbeda pula.

C.    Pengertian Paradigma Pendidikan Islam
            Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The Univesity of Chicago Prerss, 1970).Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton (1975) mendefinisikan pengertian paradigma hampir sama dengan Khun, yaitu sebagai “a world view, a general perspective, a way of breaking down of the complexity of the real world [suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata].”
            Kemudian Robert Friedrichs (1970) mempertegas definisi tersebut sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan. Akhirnya, saya berharap semoga blog ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua khususnya bagi saya pribadi. Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia.
            Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang memanusiakan. Pandangan bahwa pendidikan sebagai kegiatan yang sangat sakral dan mulia telah lama diyakini oleh manusia. Namun di dekade 70-an dua orang tokoh pendidikan, yaitu Paulo Freire dan Ivan Illich melontarkan kritik yang sangat mendasar tentang asumsi tersebut. Mereka menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini disakralkan dan diyakini mengandung nilai-nilai kebajikan tersebut ternyata mengandung penindasan.
            Pendidikan merupakan suatu perbuatan, tindakan, dan praktek.Namun, demikian pendidikan tidak dapat diartikan sebgai satu hal yang mudah, sederhana, dan tidak memerlukan pemikiran. Karena istilah pendidikan sebagai praktek, mengandung implikasi pemahaman akan arah dan tujuannya.2 Karenanya proses pendidikan itu bukan hanya sekedar lahiriah dan suatu prilaku kosong saja. Pendidikan tidak diarahkan untuk pendidikan itu sendiri, melainkan diarahkan untuk pencapaian maksud, arah, dan tujuan di masa yang akan datang. Dengan demikian, dimensi waktu dalam pendidikan tidak hanya terbatas pada waktu sekarang, yaitu saat berlangsung pendidikan tersebut. Tetapi, pendidikan diarahkan pada sikap, prilaku, dan kemampuan serta pengetahuan yang diharapkan akan menjadi pegangan bagi anak didik dalam melaksanakan tugas hidupnya secara bertanggung jawab dan dapat menjadi manusia yang seutuhnya, sebagaimana yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan.
            Menurut Muhammad Iqbal, pendidikan bukan hanya proses belajar mengajar belaka untuk mentransformasikan pengetahuan dan berlangsung secara sederhana dan mekanistik. Melainkan, pendidikan adalah keseluruhan yang mempengaruhi kehidupan perseorangan maupun kelompok masyarakat, yang seharusnya menjamin kelangsungan kehidupan budaya dan kehidupan bersama memantapkan pembinaan secara intelegen dan kreatif. Proses pendidikan ini mencakup pembinaan diri secara integral untuk mengantarkan manusia pada kesempurnaan kemanusiannya tanpa mesti terbatasi oleh sistem transformasi pengetahuan secara formal dalam lingkungan akademis. Pada akhirnya, pendidikan dalam arti luas mencakup penyelesaian masalah-masalah manusia secara umum dan mengantarkan manusia tersebut pada tujuan hidupnya yang mulia.
            Menurut Freire, pendidikan bukan hanya kegiatan pengembangan kognitif anak didik, melainkan pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan cinta dan keberanian. Sesungguhnya menurut Freire, pendidikan ialah tindakan cinta kasih dan karena itu juga merupakan tindakan berani. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang akan menganalisis realitas menjadi takut.
Kualitas yang dihasilkan dari output pendidikan sangat ditentukan oleh proses yang terjadi dalam interaksi pendidikan. Keseluruhan proses dan metode dalam pendidikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan ditentukan berdasarkan pilihan paradigma yang dijadikan dasar dalam pendidikan.Dari asumsi tersebut terlihat betapa paradigma dalam pendidikan menjadi sesuatu hal yang fundamental dan menentukan hasil dari pendidikan. Baik dan buruknya output dari pendidikan sangat ditentukan oleh paradigma pendidikan yang dianut. [7]
D.    Macam-macam Paradigma
Henry Giroux dan Arronnawitz membagi paradigma pendidikan ke dalam tiga aliran utama, yaitu[8] :
1.      Paradigma konservatif
            Yaitu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi. Paradigma pendidikan konservatif sangat mengidealkan masa silam (past oriented) sebagai patron ideal dalam pendidikan. Paradigma konservatif melahirkan jenis kesadaran sebagaimana yang disebutkan oleh Paulo Freire, sebagai kesadaran magis.Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan antara satu faktor dengan faktor lainnya sebagai hal yang berkaitan.Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar kesadaran manusia sebagai penyebab dari segala kejadian.
2.       Paradigma pendidikan liberal
            yaitu paradigma pendidikan yang berorientasi mengarahkan peserta didik pada prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan mengejar prestasi individual. Sehingga yang terjadi adalah persaingan individual yang akan mengarahkan peserta didik pada individualisme dan tidak melihat pendidikan sebagai proses pengembangan diri secara kolektif. Paradigma pendidikan liberal melahirkan bentuk kesadaran naif.Yaitu jenis kesadaran ini menganggap aspek manusia secara individulah yang menjadi penyebab dari akar permasalahan.
3.      Paradigma pendidikan kritis
            Yaitu paradigma pendidikan yang menganut bahwa pendidikan adalah diorientasikan pada refleksi kritis terhadap sistem dan struktur sosial yang menyebabkan terjadinya berbagai ketimpangan. Paradigma pendidikan kritis mengarahkan peserta didik pada kesadaran kritis, yaitu jenis kesadaran yang melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling terkait satu sama lain.
            Paradigma pendidikan sangat berimplikasi terhadap pendekatan dan metodologi pendidikan dan pengajaran.Salah satu bentuk implikasi tersebut adalah perbedaan bentuk dalam pola belajar mengajar antara pola paedagogy dengan pola andragogy.
            Bagi Freire, selaku tokoh penggagas pendidikan kritis. Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan akan realitas bagi Freire tidak hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya secara sinergis. Objektivitas dan subjektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis, kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah dua fungsi dialektis yang konstan/tetap dalam diri manusia. Oleh karena itulah menurut Freire, pendidikan harus tampil metode yang mengarahkan manusia pada perwujudan kesadaran subjektif yang kritis dan pemahaman akan realitas yang objektif dan akan mengantarkan manusia pada suatu kesadaran kritis yang konstruktif dalam membangun dunianya ke arah yang lebih konstruktif.
            Untuk memahami pendidikan Islam tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat sepotong apa yang ditemukan dalam realitas penyelenggaraan pendidikan Islam, tapi mesti melihatnya dari sistem nilai yang menjadi landasan paradigmanya. Hasan Langgulung menyatakan sangat keliru jika mengkaji pendidikan Islam hanya dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul dalam sejarah Islam, dari kurikulum, apalagi hanya dari metode mengajar, dan melepaskan
masalah idiologi Islam.Idiologi atau paradigma pendidikan Islam merupakan gambaran utuh tentang ketuhanan, alam semesta, dan tentang manusia yang dikaitkan dengan semua teori pendidikan Islam sehingga semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.Sehingga diperlukan suatu paya untuk menegaskan kembali paradigma yang diperlukan untuk mengembangkan pendidikan Islam.
            Dalam pelaksanaan pendidikan sebagai proses timbal balik antara pendidik dengan anak didik melibatkan faktor-faktor pendidikan guna mencapai tujuan tujuan pendidikan dengan didasari nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tertentu itulah kemudian disebut sebagai dasar paradigma pendidikan.Istilah dasar paradigma pendidikan dimaksudkan sebagai landasan tempet berpijak atau pondasi berdirinya suatu sistem pendidikan.
            Dasar paradigma pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-quran dan al-Hadis. Dari kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah pendidikan Islam.(Muhaimin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan pemikirannya).Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip, teori, dan teknik pendidikan Islam.
            Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Karena fungsi pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat.Dalam lintasan sejarah peradapan Islam peran pendidikan ini benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab hingga Eropa Timur.Untuk itu adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik erupakan sebuah keniscayaan.Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam tidak lepas dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa itu.
            Kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan umat Islam ini tidak muncul secara tiba-tiba, spontan atau mendadak. Kesadaran ini muncul dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal Islam (masa Rasul Muhammad) Pada masa itu Muhammad senantiasa menanamkan kesadaran pada sahabat dan pengikutnya akan urgensi ilmu dan selalu mendorong umat Islam untuk senantiasa menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hadis yang menjelaskan tentang urgrnsi dan keutamaan ilmu dan orang yang memiliki pengetahuan.
            Setelah Muhammad wafat, para sahabat dan umat Islam secara umum tetap melanjutkan misi ini dengan menanamkan kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan kepada generasi-generasi sesudahnya, sehingga kesadaran ini menjadi darah daging di kalangan umat Islam dan mencapai puncaknya pada abad XI sampai awal abad XIII M. Namun cikal bakal pendidikan Islam dalam sebuah institusi baru dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab (Nasr,1994).
            Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar bin Khatab mengirimkan petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber bagi masyarakat Islam di wilayah tersebut. Mereka biasanya bermukim di masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada Umat Islam melalui khalaqoh-khalaqoh majlis khusus untuk mempelajari agama dan mengkaji disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Istitusi pendidikan Islam yang modern baru muncul pada akhir abad X M. Dengan didirikannya perguruan (universitas) Al-Azhar di Kairo.Selain dilengkapi oleh perpustakaan dan laboratorium juga sudah diberlakukan kurikulum pengajaran yang berisi disiplin-disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik.Kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang berimbang.Makdunya selain ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu-ilmu akal sepertilogika, kedokteran, geografi, matematika dsb.
            Istitusi pendidikan Islam yang ideal pada masa itu yang lainnya adalah madrasah Nizamiyah.Perguruan ini sudah menggunakan sistem sekolah. Arinya telah ditentukan waktu penerimaan siswa, tes kenaikan, ujian akhir sekolah, pengelolaan dana sendiri, kelengkapan fasilitas, perekrutan tenaga pengajar yang selektif, dan pemberian bea siswa untuk siswa berprestasi.
            Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas yang tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah.Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan istana pun terbuka untuk umum.(Ahmad Warid Khan Okt 1998).Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami perubahan besar dari sebuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
            Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri anak didik agar sesuai dengan fitrah keberadaannya (al-Attas,1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimak.Pada kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik.Namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemundurun.
            Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam terdapat beberapa hal yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre intelektual senantiasa dilandasi oleh, Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifatas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas adalah upaya menegakan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan.Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan adalah kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non agama dalam dunia Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
            Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.Karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan, minimal membuka kembali sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
            Keempat, Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi dapat diaplikasikan dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu manghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
            Kelima, Adanya perhatian dan dukungan dari para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah akan mempercepat penemuan kembali peradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat[9].













PENUTUP

A.       Kesimpulan
Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu.
Para ilmuan berbeda-beda dalam mengklasifikasi ilmu, ada yang berdasarkan dari segi sejarah, segi pembidangan atau klasifikasi, ilmu yang berguna dan yang tak berguna, dari segi syar’iyyah dan aqliyyah, dan ada juga dari segi sumbernya.
Penggunaan akal sangat besar pengaruhnya dalam membahas masalah-masalah keagamaan dalam Islam, yang tidak hanya dijumpai dalam filsafat Islam tapi juga ada dalam bidang ilmu kalam, tasawuf, ushul fiqh, dan sains.
B.        Kritik dan saran
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran apapun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.















DAFTAR PUSTAKA

Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Bisri M. Djaelani, Ensklopedi Islam, cet. I ,Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an, cet. 13 Bandung: Mizan, 1996.
H. A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, cet.1. Bandung: Mizan, 1991.
Harun Nasution, Falsafah dan Misticisme dalam Islam, Jakarata: Bulan Bintang, 1973.
Henri Marginau dan David Bergamini, The Scientist, New York: Time Corporated, 1964.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Mircea Aliade, W.C. Smith, et.all, Metodologi Studi Agama, penerj. Ahmad Norma Permata, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. 
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA., Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo, 2004.






[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 19.
[2] Lihat: Henri Marginau dan David Bergamini, The Scientist, (New York: Time Corporated, 1964), hlm. 86-99.
[3] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 3-4.
[4] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 18.
[5] Lihat  Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet. 13.
[6]  Harun Nasution, Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Peneliian Islam: Sebuah Perspektif, dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998), hlm. 7-8.
[7] Harun Nasution, Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Peneliian Islam: Sebuah Perspektif, dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998), hlm. 20-29
[8] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA., Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo, 2004. Hlm.50-57
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.hlm.30-35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar