Jumat, 20 Juli 2018

Makalah Perbuatan Melawan Hukum



MAKALAH
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
ADMINISTRASI PERADILAN
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :

Rudi Iskandar
(14140064)

Dosen Pembimbing
Jumanah SH. MH



lambang.jpg
 






JURUSAN AKHWAL SKHASIYAH, FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM, UIN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2017





KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun judul makalah ini adalah “Pebuatan Melawan Hukum”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Adminitrasi Peradilan.
Diharapkan makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai Pebuatan Melawan Hukum. Sehingga dapat dijadikan bahan Referensi.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini. Akhir kata saya ucapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan.
Palembang, 31 Mei2017
Penyusun,


Rudi iskandar














DAFATAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... I
DAFTAR ISI......................................................................................................................... II
PENDAHULUAN................................................................................................................ III
A.    Latar Belakang Masalah............................................................................................ III
B.     Rumusan masalah ..................................................................................................... III       
C.     Tujuan ....................................................................................................................... III
BaB II  PERBUATAN MELAWAN HUKUM................................................................... 1
A.    Pengertian Perbuatan Melawan Hukum.................................................................... 1
B.     Unsur – unsur Perbuatan Melawan Hukum............................................................... 6
C.     Subjek Perbuatan Melawan Hukum.......................................................................... 13
D.    Tuntutan Ganti Kerugian Karena perbuatan Melawan Hukum................................. 13
E.     Perbedaan Antara Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum....................... 14
F.      Hal – hal yang menghilangkan sifat Melawan Hukum.............................................. 16
G.    Konsep kesalahan Dalam Perbuatan Melawan Hukum............................................. 22
PENUTUP ............................................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 27














BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebenarnya sudah dikenal sejak menusia mengenal Hukum dan telah dimuat dalam Kitab Hukum tertua yang pernah dikenal sejarah yaitu Kitab Hukum Hammurabi (dibuat lebih dari empat ribu tahun yang lalu). Dalam kitab tersebut diatur mengenai akibat hukum sesorang yang melakukan perbuatan tertentu yang sebenarnya tergolong dalam perbuatan melawan hukum.
Perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sangat berpengaruh didalam perkembangan di lndonesia karena kaidah hukum di sana berlaku negeri jajahannya berdasarkan azas konkordansi termasuk Indonesia. Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum di negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode yaitu : Periode sebelum tahun 1838 , Periode antara tahun 1838-1919, Periode setelah tahun 1919 .  Suatu subjek dari hubungan hukum, orang pribadi atau badan hukum yanag dalam kedudukan demikian berwenang melakukan tindakan hukum"

B.     Rumusan masalah
1.      Apa yang di Maksud Perbuatan Melawan Hukum ?
2.      Sejak kapan Perbuatan melawan hukum itu ada ?
3.      Bagaimana apa kaitannya hukum belanda dan Indonesia :
D.    Tujuan
Untuk lebih mengetahui lebih luas Perbuatan melawan hukum pada zaman sebelum merdeka atau masa penjajahan belanda dengan Indonesia

BAB II

PERBUATAN MELAWAN HUKUM


A.    Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang temukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon. [1]
Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum di negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode yaitu :
a.       Periode sebelum tahun 1838
Adanya kodifikasi sejak tahun 1838 membawa perubahan besar terhadap pengertian perbuatan melawan hukum yang diartikan pada waktu itu sebagai on wetmatigedaad (perbuatan melanggar undang-undang) yang berarti bahwa suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
b.      Periode antara tahun 1838-1919
Setelah tahun 1883 sampai sebelum tahun 1919, pengertian perbuatan melawan hukum diperluas sehingga mencakup juga pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain. Dengan kata lain perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak subjektif orang lain. Dalam hal ini Pasal 1365 KUH Perdata diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in committendo) sedangkan Pasal 1366 KUH.Perdata dipahami sebagai perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan (culpa in ommittendo). Apabila suatu perbuatan (berbuat atau tidak berbuat) tidak melanggar hak subjektif orang lain atau tidak melawan kewajiban hukumnya/tidak melanggar undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak termasuk perbuatan melawan hukum.
c.       Periode setelah tahun 1919
Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes.
Menurut sistem Common Law sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain.[2]
Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian:
a.       Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)
b.      Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)
c.       Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak).[3] .
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu :
a.       Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
b.      Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)
c.       Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.[4]
Dengan demikian tiap perbuatan melanggar, baik sengaja maupun tidak sengaja yang sifatnya melanggar. Berarti unsur kesengajaan dan kelalaian di sini telah terpenuhi. Kemudian yang dimaksud dengan hukum dalam Pasal tersebut di atas adalah segala ketentuan dan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan segala sesuatu yang dianggap sebagai hukum. Berarti jelas bahwa yang dilanggar itu adalah hukum dan yang dipandang atau dianggap sebagai hukum, seperti undang-undang, adat kebiasaan yang mengikat, keputusan hakim dan lain sebagainya.
Selanjutnya agar pelanggaran hukum ini dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, akibat dari pelanggaran hukum itu harus membawa kerugian bagi pihak lain. Karena adakalanya pelanggaran hukum itu
tidak harus membawa kerugian kepada orang lain, seperti halnya seorang pelajar atau mahasiswa tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ? padahal dalam hal itu ada peraturan yang dibuat oleh sekolah atau universitas masing-masing.
Dengan demikian antara kalimat "tiap perbuatan melanggar hukum", tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, bahkan harus sejalan dalam mewujudkan pengertian dari perbuatan melawan hukum tersebut. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut di atas.
Dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum diartikan bahwa "orang yang berbuat pelanggaran terhadap orang lain atau ia telah berbuat bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya sendiri".[5] Setelah adanya arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari 1919, maka pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu :
Hal berbuat atau tidak berbuat itu adalah melanggar hak orang lain, atau itu adalah bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat (sampai di sini adalah merupakan perumusan dari pendapat yang sempit), atau berlawanan baik dengan  kesusilaan maupun melawan kepantasan yang seharusnya ada di dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau benda orang lain)".[6]
Dengan demikian pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas berdasarkan pernyataan di atas, bahwa perbuatan itu tidak saja melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya atau yang berbuat, tetapi perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan kepantasan terhadap diri atau benda orang lain, yang seharusnya ada di dalam masyarakat, dalam arti bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, seperti adat istiadat dan lain-lain.
Abdulkadir Muhammad berpendapat, bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti sempit hanya mencakup Pasal 1365 KUHPerdata, dalam arti pengertian tersebut dilakukan secara terpisah antara kedua Pasal tersebut. Sedangkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah merupakan penggabungan dari kedua Pasal tersebut.
Lebih jelasnya pendapat tersebut adalah :
Perbuatan dalam arti "perbuatan melawan hukum" meliputi perbuatan positif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "daad" (Pasal 1365) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "nataligheid" (kelalaian) atau "onvoorzigtgheid" (kurang hati-hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata.[7]
Dengan demikian Pasal 1365 KUHPerdata untuk orang-orang yang betul-betul berbuat, sedangkan dalam Pasal 1366 KUHPerdata itu untuk orang yang tidak berbuat. Pelanggaran kedua Pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti kerugian. Perumusan perbuatan positif Pasal 1365 KUHPerdata dan perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPerdata hanya mempunyai arti sebelum ada putusan Mahkamah Agung Belanda 31 Januari 1919, karena pada waktu itu pengertian melawan hukum (onrechtmatig) itu masih sempit. Setelah putusan Mahkamah Agung Belanda tersebut, pengertian melawan hukum itu sudah menjadi lebih luas, yaitu mencakup juga perbuatan negatif. Ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata itu sudah termasuk pula dalam rumusan Pasal 1365 KUHPerdata.
Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum di atas, baik yang secara etimologi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, keputusan Mahkamah Agung Belanda dengan arrest tanggal 31 Januari 1919 dan pendapat para sarjana hukum, walaupun saling berbeda antara satu sama lainnya, namun mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penegasan terhadap tindakan-tindakan seseorang yang telah melanggar hak orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, sementara tentang hal tersebut telah ada aturannya atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, seperti adat kebiasaan dan lain sebagainya.[8]
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materil.[9]
1.      Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
2.      Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil.
Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.

B.     Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ialah :
1.      Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig).
2.      Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
3.      Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).

4.      Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.[10]
Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Suryatin, yang mengatakan :
Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur pertama adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undang. Perbuatan itu menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.[11]
Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai berikut :
1.      Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.
2.      Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab.
3.      Harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.[12]
Dibandingkan kedua unsur-unsur tersebut di atas, jelas terlihat perbedaannya, dimana menurut pendapat Abdulkadir Muhammad, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakannya lebih luas, jika dibandingkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh R. Suryatin. Kalau perbuatan yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad lebih luas, yaitu terhadap hukum yang termasuk di dalamnya Undang-Undang. Sedangkan perbuatan yang dikemukakan R. Suryatin, hanya terhadap Undang-undang saja. Kemudian antara perbuatan dan akibat terdapat hubungan kausal (sebab musabab), menurut Abdulkadir Muhammad merupakan salah satu unsur, sedangkan menurut R. Suryatin digabungkan dengan unsur perbuatan itu menimbulkan kerugian.
Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum yaitu :[13]
1.      Perbuatan itu harus melawan hukum
Prinsipnya tentang unsur yang pertama ini telah dikemukakan di dalam sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-syarat perbuatan melawan hukum. Dalam unsur pertama ini, sebenarnya terdapat dua pengertian, yaitu "perbuatan" dan "melawan hukum". Namun keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini dapat dibuktikan dengan dua cara, yaitu dengan cara penafsiran bahasa, melawan hukum menerangkan sifatnya dari perbuatan itu dengan kata lain "melawan hukum" merupakan kata sifat, sedangkan "perbuatan" merupakan kata kerja. Sehingga dengan adanya suatu "perbuatan" yang sifatnya "melawan hukum", maka terciptalah kalimat yang menyatakan "perbuatan melawan hukum".
Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Cara penafsiran hukum ini terhadap kedua pengertian tersebut, yaitu "perbuatan", untuk jelasnya telah diuraikan di dalam sub bab di atas, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya meliputi hak orang lain, dan kewajiban si pembuat yang bertentangan atau hanya melanggar hukum/undang-undang saja. Pendapat ini dikemukakan sebelum adanya arrest Hoge Raad Tahun 1919. Sedangkan dalam arti luas, telah meliputi kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang-barang orang lain. Pendapat ini dikemukakan setelah pada waktu arrest Hoge Raad Tahun 1919 digunakan.
2.      Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
Kerugian yang dimaksud di dalam unsur kedua ini, Undang-undang tidak hanya menjelaskannya tentang ukurannya dan yang termasuk kerugian itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat dari kerugian tersebut, yaitu materiil dan imateriil. “Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil dan kerugian inmateril, Apa ukurannya, apa yang termasuk kerugian itu, tidak ada ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan perbuatan melawan hukum”.[14]
Dengan pernyataan di atas, bagaimana caranya untuk menentukan kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Karena undang-undang sendiri tidak ada menentukan tentang ukurannya dan apa saja yang termasuk kerugian tersebut. Undang-undang hanya menentukan sifatnya, yaitu materil dan inmateril.
Termasuk kerugian yang bersifat materil dan inmateril ini adalah :
1.      Materil, maksudnya bersifat kebendaan (zakelijk). Contohnya : Kerugian karena kerusakan tubrukan mobil, rusaknya rumah, hilangnya keuntungan, keluarnya ongkos barang dan sebagainya.
2.      Immateril, maksudnya bersifat tidak kebendaan. Contohnya : Dirugikan nama baik seseorang, harga diri, hilangnya kepercayaan orang lain, membuang sampah (kotoran) di pekarangan orang lain hingga udara tidak segar pada orang itu atau polusi, pencemaran lingkungan, hilangnya langganan dalam perdagangan.[15]
Berdasarkan pernyataan di atas, apakah contoh-contoh tersebut telah memenuhi ukuran dari kerugian yang diisebabkan oleh perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat saja terjadi, karena undang-undang itu sendiri tidak ada mengaturnya. Namun demikian bukan berarti orang yang dirugikan tersebut dapat menuntut kerugian orang lain tersebut sesuka hatinya. Karena ada pendapat yang mengatakan :
Hoge Raad berulang-ulang telah memutuskan, bahwa kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian (Pasal 1246-1248), walaupun ketentuan tersebut tidak dapat langsung diterapkan. Akan tetapi jika penerapan itu dilakukan secara analogis, masih dapat diperkenankan.[16]
Dalam praktek hukumnya, pernyataan di atas dapat dibuktikan kebenarannya, bahwa secara umum pihak yang dirugikan selalu mendapat ganti kerugian dari si pembuat perbuatan melawan hukum, tidak hanya kerugian yang nyata saja, tetapi keuntungan yang seharusnya diperoleh juga diterimanya. Dengan demikian, kerugian yang dimaksud pada unsur kedua ini, dalam prakteknya dapat diterapkan ketentuan kerugian yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian. Walaupun penerapan ini hanya bersifat analogi. Namun tidak menutup kemungkinan terlaksananya penerapan ketentuan tersebut terhadap perbuatan melawan hukum. Alasannya, karena tidak adanya pengaturan lebih lanjut dari Undang-undang tentang hal tersebut, sehingga masalah ini dapat merupakan salah satu masalah pengembangan hukum perdata, yang layak untuk diteliti.
3.      Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan dalam uraian ini, ialah perbuatan yang disengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan atau yang perbuatan itu melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Menurut hukum perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-dira. Dapat dikira-kira itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu perbuatan seharusnya dilakukan/tidak di lakukan.[17]
Berdasarkan pendapat di atas, berarti perbuatan melawan hukum itu adalah perbuatan yang sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan. Kesalahan dalam unsur ini merupakan suatu perbuatan yang dapat dikira-kira atau diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal sebagai tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan demikian, melakukan atau tidak melakukan dapat dikategorikan ke dalam bentuk kesalahan. Pendapat di atas dapat dimaklumi, karena sifat dari hukum adalah mengatur, yang berarti ada larangan dan ada suruhan. jika seseorang melakukan suatu perbuatan, perbuatan mana dilarang oleh undang-undang, maka orang tersebut dinyatakan telah bersalah. Kemudian jika seseorang tidak melakukan perbuatan, sementara perbuatan itu merupakan perintah yang harus dilakukan, maka orang tersebut dapat dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian kesalahan dari maksud pernyataan di atas.
Kemudian ada pendapat lain yang menyatakan bahwa "kesalahan itu dapat terjadi, karena : disengaja dan tidak disengaja".[18] Tentunya yang dimaksud dengan disengaja dan tidak disengaja dalam pernyataan di atas adalah dalam hal perbuatan. Apakah perbuatan itu disengaja atau perbuatan itu tidak disengaja. Tentang disengaja dan tidak disengaja berarti kesalahan itu dapat terjadi dan dilakukan akibat dari suatu kelalaian. Jika kelalaian dapat dianggap suatu unsur dari kesalahan, maka menurut pandangan hukum, kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan dan kesilapan, merupakan satu pedoman dasar di dalam menentukan bahwa perbuatan itu termasuk ke dalam suatu perbuatan yang melawan hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi. Tetapi di dalam kenyataannya, kenapa masih banyak orang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, dapat menghindari dirinya dari tuduhan dan gugatan tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan hukum yang ditunjukkan kepadanya.
Perbuatan yang memang disengaja, berarti sudah ada niat dari pelakunya atau si pembuat. Tetapi jika perbuatan itu tidak disengaja untuk dilakukan, dalam arti unsur kesilapan, suatu contoh dalam hal pembayaran harga barang dalam jual beli tanah yang dilakukan si pembeli, apakah si pembeli dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, menurut pendapat di atas. Atau seorang kasir pada suatu bank, yang silap melakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah. Apakah perbuatan si kasir tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dan kepadanya dapat digugat Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut.
4.      Antara perbuatan dan kerugian ada hubungan kausal.
Pasal 1365 KUH. Perdata, hubungan kausal ini dapat terlihat dari kalimat perbuatan yang karena kesalahaannya menimbulkan kerugian. Sehingga kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan, atau kerugiaan itu merupakan akibat dari perbuatan. Hal yang menjadi masalah di sini, apakah kerugian itu merupakan akibat perbuatan, sejauhmanakah hal ini dapat dibuktikan kebenarannya. Jika antara kerugian dan perbuatan terdapat hubungan kausalitas (sebab akibat), maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa setiap kerugian merupakan akibat dari suatu perbuatan. Apakah pendapat tersebut tidak bertentangan dengan hukum alam, yang menyatakan bahwa terjadinya alam ini, mengalami beberapa proses yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan.
Kemudian menurut pendapat sarjana sosiologi, timbulnya hukum di dalam masyarakat hukum hanya disebabkan adanya faktor persaingan hidup dalam masyarakat itu sendiri, tetapi dipengaruhi oleh disebabkannya adanya faktor kehidupan lainnya, seperti faktor biologis, faktor kejiwaan, faktor keamanan dan faktor-faktor kebendaan lainnya. Tujuannya untuk mengatur dan melindungi serta mengayomi hidup dan kehidupannya, baik secara individu maupun secara kelompok dalam masyarakat.[19]
Berarti, dilihat dari uraian di atas, hubungan kausalitas tersebut terdiri dari beberapa sebab yang merupakan peristiwa, sehingga kerugian bukan hanya disebabkan adanya perbuatan, tetapi terdiri dari beberapa syarat dari perbuatan.
Hal ini sesuai dengan pendapat atau teori yang dikemukakan oleh Von Buri, yaitu :
Harus dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Karena dengan hilangnya salah satu syarat tersebut, akibatnya tidak akan terjadi dan oleh sebab tiap-tiap syarat-syarat tersebut conditio sine qua non untuk timbulnya akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab.[20]
Hubungan kausalitas yang merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum dapat dikatakan bahwa kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan yang sifatnya melawan hukum.
Marheinis Abdulhay menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum itu adalah :
Dari pengertian Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut dapat ditarik beberapa unsur perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yaitu :
1.      Perbuatan.
2.      Melanggar.
3.      Kesalahan.
4.      Kerugian.[21]
Diperhatikan pernyataan di atas dan jika dibandingkan dengan pembagian unsur-unsur yang telah dikemukakan terdahulu, perbedaan-perbedaan unsur-unsur tersebut sangat jelas terlihat. Hubungan kausalitas atau sebab musabab yang termasuk salah satu unsur atau bagian dari salah satu unsur perbuatan yang mengakibatkan kerugian, menurut pendapat para sarjana terdahulu. Sementara menurut Marheinis Abdulhay, hubungan kausalitas atau sebab musabab ini bukan merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum.[22]
Tidak termasuknya hubungan kausalitas tersebut ke dalam unsur-unsur perbuatan melawan hukum disebabkan tidak terdapatnya hubungan kausalitas tersebut di dalam pengertian Pasal 1365 KUHPerdata, sehingga sarjana tersebut hanya melihat hal-hal yang jelas dan nyata saja dari bunyi Pasal tersebut, dalam arti ia hanya melihat hal-hal yang tersurat. Sedangkan hubungan kausalitas menurut pendapat sarjana yang lain, itu merupakan hal yang tersirat. Sehingga tidak perlu disebutkan sebagai salah satu unsur.
Selain itu, kelihatannya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh Marheinis Abdulhay ini jelas sederhana jika dibandingkan dengan dengan unsur-unsur yang dikemukakan oleh sarjana yang lain. Namun demikian secara kenyataannya, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh para sarjana di atas mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang digunakan dan ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.[23]

C.    Subjek Perbuatan Melawan Hukum

Menurut Marheinis Abdulhay bahwa "yang dinyatakan bersalah adalah subjek hukum atau orang (person), karena subjek diakui mempunyai hak dan kewajiban".[24] Berarti berdasarkan pernyataan tersebut dinyatakan bersalah adalah subjek hukum yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum adalah juga subjek hukum, alasannya karena subjek hukum mempunyai hak dan kewajibaan.
Subjek dalam kamus istilah hukum adalah "pokok, subjek dari hubungan hukum, orang pribadi atau badan hukum yanag dalam kedudukan demikian berwenang melakukan tindakan hukum".[25] Berarti yang termasuk dikatakan atau digolongkan sebagai subjek dalam pandangan hukum adalah orang pribadi dan badan hukum. Kemudian yang dimaksud dengan subjek hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang dalam kedudukannya sebagai subjek mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan hukum. Dengan demikian yang termasuk subjek perbuatan melawan hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang telah melakukan tindakan atau perbuatan yang sifatnya melawan hukum.

D.    Tuntutan Ganti Kerugian Karena Perbuatan Melawan Hukum

Ada hubungan yang erat antara ganti rugi yang terjadi karena adanya wanprestasi dalam suatu perjanjian dengan apa yang dikenal dengan ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum (onrechtmetige daad). Sebab dengan tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban "tidak tepat waktu" atau "tidak layak", adalah jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti pula merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.
“Memang hampir serupa onrechtmatigedaad dengan wanprestasi, itu sebabnya dikatakan bahwa wanprestasi adalah juga merupakan "genus specifik" dari onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365 KUHPerdata”.[26] Dengan demikian, jika diperhatikan bahwa para ahli menyebutkan juga bahwa ketentuan tentang ganti rugi yang terdapat di dalam bagian wanprestasi tersebut juga berlaku akan halnya dengan ganti rugi sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan pengertian lain, ketentuan ganti rugi dalam wanprestasi dapat diberlakukan secara analogis dalam hal adanya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksudkan dengan ganti kerugian itu ialah "ganti kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai".[27] Sebagai perbandingan tentang ganti kerugian disebabkan wanprestasi dan ganti rugi sebagai akibat adanya perbuatan yang melawan hukum, berikut ini akan dikutipkan Pasal 1243 KUHPerdata dan Pasal 1365 KUHPerdata.
Pasal 1243 KUHPerdata, dengan tegas disebutkan bahwa penggantin biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Sedangkan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata disebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Jika diperhatikan dengan seksama kedua kutipan pasal tersebut, jelas tidak ada disebutkan dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan ganti rugi itu sendiri, hanya saja, ganti rugi dalam hal wanprestasi berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata baru timbul bilamana debiturnya telah dinyatakan berada dalam keadaan lalai setelah dilakukannya peringatan tetapi tetap juga dilalaikannya. Sedangkan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata juga tidak disebutkan tentang apa yang dimaksud dengan pengertian ganti rugi itu.[28]

E.     Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum

Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksud dengan wanprestasi adalah "tidak memenuhi kewajiban yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang".[29] Berdasarkan pendapat tersebut, maka unsur-unsur wanprestasi itu adalah :
a.       Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b.      Memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru.
c.       Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.[30]
Diperhatikan pengertian dan unsur-unsur wanprestasi tersebut bukanlah tidak menutup kemungkinan tindakan wanprestasi ini dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, karena dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu ada kemungkinan disebabkan dua hal yaitu :
1.      Kesalahan salah satu pihak, baik sengaja maaupun karena lalai.
2.      Keadaan memaksa (force majeur).[31]
Kemungkinan itu disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeur) mungkin hal ini dapat diterima sebagai wanprestasi, Tetapi jika kemungkinan itu disebabkan kesalahan baik disengaja maupun tidak sengaja. Apakah kemungkinan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi juga atau dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik.
Pasal 1338 KUHPerdata ini dihubungkan dengan kemungkinan yang disebabkan kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja yang merupakan salah satu kemungkinan terjadinya wanprestasi. Berarti tindakan itu bukan tindakan wanprestasi, tetapi perbuatan melawan hukum dengan alasan salah satu pihak telah melangar persetujuaan yang berlaku sebagai undang-undang atau bertentangan dengan kewajibannya.
Sebenarnya dari pengertian kedua lembaga ini dapat dilihat perbedaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum yaitu bahwa di dalam wanprestasi terdapat istilah somasi yaitu penetapan lalai yang disebut dalam Pasal 1274 KUHPerdata. Dengan demikian wanprestasi itu terjadi apabila salah satu pihak atau debitur misalnya setelah penetapan lalai ini ia masih tetap tidak melakukan atau memenuhi pretasinya maka si debitur dapat dikatakan wanprestasi. Di samping itu, pada umumnya tindakan wanprestasi ini ada dikarenakan suatu perikatan yang dibuat oleh kedua belah pihak, baik perikatan yang berdasarkan perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Sedangkan perbuatan melawan hukum tidak ada penetapan lalai atau peringatan terlebih dahulu. Kemudian pada umumnya perbuatan melawan hukum terjadi bukan karena suatu perikatan tetapi terjadi dengan sendirinya yang dilakukan oleh si pembuat terhadap aturan hukum atau ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Persetujuan itu berlaku sebagai undang-undang, namun bukan berarti pihak yang dengan kesalahannya tidak melakukan perjanjian itu dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi ia dikatakan telah wanprestasi. Karena bersalah tidak melakukan prestasi yang telah diperjanjikan dengan pihak lain.[32]

F.     Hal-Hal Yang Menghilangkan Sifat Melawan Hukum

Seperti halnya dalam hukum Pidana, demikian pula dalam hukum perdata, adakalanya terdapat hal-hal yang menghilangkan sifat melawan hukum (alasan pembenar). Rosa Agustina menyatakan ada 4 hal yang pada umumnya telah lazim sebagai alasan pembenar yaitu
1.      Keadaan memaksa (overmacht);
Pengertian dari overmacht ialah salah satu paksaan/dorongan yang datangnya dari luar yang tak dapat dielakkan atau harus dielakkan. Overmacht adakalanya merupakan alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan adakalanya alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond), hal ini karena keadaan overmacht mempunyai sifat yang berbeda dan tidak harus menimbulkan akibat yang sama. Overmacht memiliki bentuk tertentu, yaitu noodtoestand yang timbul disebabkan oleh konflik kewajiban-kewajiban. Terdapat noodtoestand apabila kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan karena melawan hukum ditiadakan oleh suatu kewajiban lain atau suatu kepentingan yang lebih tinggi tingkatnya. Overmacht dapat bersifat mutlak (absolut) atau relatif. Disebut mutlak apabila setiap orang dalam keadaan terpaksa harus melakukan perbuatan yang pada umumnya merupakan perbuatan melawan hukum, sedangkan disebut relatif apabila seseorang melakukan perbuatan melawan hukum oleh karena suatu keadaan, di mana ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut daripada mengorbankan kepentingan sendiri dengan risiko yang sangat besar.
2.      Pembelaan darurat atau terpaksa (noodweer);
Di dalam pembelaan terpaksa, seseorang melakukan perbuatan yang terpaksa untuk membela diri sendiri atau orang lain, kehormatan atau barang terhadap serangan yang tiba-tiba yangbersifat melawan hukum. Setiap orang yang diserang orang lain berhak untuk membela diri. Jika dalam pembelaan tersebut, ia terpaksa melakukan perbuatan melawan hukum, maka sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut menjadi hilang. Untuk menentukan bahwa perbuatan tersebut merupakan bela diri, harus ada serangan yang ditujukan kepadanya dan pembelaan diri tidak boleh melampaui batas. Oleh karena diserang dengan golok, untuk membela diri maka orang tersebut menggunakan tongkat dan dipakai memukul tangan si penyerang, sehingga tangannya patah. Dalam hal ini perbuatan tersebut tidak merupakan perbuatan melawan hukum.
3.      Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang;
Perbuatan tidak merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu dilakukan karena melaksanakan undang-undang. Polisi yang menahan seseorang dan merampas kemerdekaannya; hakim yang menghukum terdakwa; panitera yang melakukan sitaan tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang adalah melawan hukum apabila wewenang tersebut disalahgunakan atau dalam hal detournement de pouvoir.
4.      Melaksanakan Perintah Atasan
Perbuatan orang yang melakukan perintah atasan yang berwenang, bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Perintah atasan hanya berlaku sebagai alasan pembenar bagi orang yang melaksanakan perintah tersebut. Tidak menutup kemungkinan, bahwa pemerintah atau penguasa yang memberi perintah tersebut bertindak melawan hukum. Di dalam praktek, alasan pembenar ini tidak begitu penting karena biasanya penguasa yang digugat dan bukan pegawai yang melakukan perbuatan tersebut.
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa hal-hal yang menghilangkan sifat melanggar hukum ditinjau dari “perbuatannya” dengan tidak memandang tubuh dan kedudukan dari subyek perbuatan melawan hukum adalah[33]
1.      Hak pribadi;
2.      Pembelaan diri (noodweer);
3.      Keadaan memaksa (overmacht).
Sedangkan hal-hal mengenai subyek perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan subyek tersebut meskipun telah melakukan perbuatan melawan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan ialah
1.      Perintah kepegawaian (ambtelijk bevel);
2.      Hak menghakimi sendiri (eigen richting).
A.     Kriteria Perbuatan Melawan Hukum
Sejak putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum- Cohen, konsep perbuatan melawan hukum telah berkembang. Sejak itu terdapat 4 kriteria perbuatan melawan hukum:
1.      Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2.      Melanggar hak subyektif orang lain;
3.      Melanggar kaidah tata susila;
4.      Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta orang lain.
Kriteria pertama dan kedua berhubungan dengan hukum tertulis sedangkan kriteria ketiga dan keempat berhubungan dengan hukum tidak terulis. Hoffman menerangkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu:
1.      Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan perbuatan);
2.      Die daad moet onrechtmatig zijn (perbuatan itu harus melawan hukum);
3.      Die daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht (perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain);
4.      De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya).
Sejalan dengan Hoffman, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syaratsyarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:
1.      Harus ada perbuatan. Yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat poitif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat;
2.      Perbuatan itu harus melawan hukum;
3.      Ada kerugian;
4.      Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
5.      Ada kesalahan;
Berikut ini penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum
tersebut, yaitu sebagai berikut:
1.      Adanya Suatu Perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif). Oleh karena itu, terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan”sebagaimana yang terdapat dalam kontrak”.
2.      Perbuatan Tersebut Melawan Hukum
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;
b.      Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum si pelaku;
c.       Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
d.      Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden);
e.       Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzein van ander person of goed)
3.      Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku
Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdt. tentang Perbuatan Melawan Hukum, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdt., pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum, hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Ada unsur kesengajaan;
b.      Ada unsur kelalaian (negligence, culpa);
c.       Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond),
seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain. Terdapat tiga aliran terhadap persyaratan unsur “kesalahan” di samping unsur “melawan hukum” dalam suatu perbuatan melawan hukum, yaitu
a.       Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melawan hukum saja;
Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur melawan hukum terutama dalam artinya yang luas, sudah inklusif unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur kesalahan terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Van Oven.
b.      Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur kesalahan saja;
Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan hukum di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur “melawan hukum” terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Van Goudever.
c.       Aliran yang menyatakan diperlukan baik unsur melawan hukum maupun unsur kesalahan.
Aliran ini mengajarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum mesti mensyaratkan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan sekaligus, karena dalam unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Meyers.
4.      Adanya Kerugian Bagi Korban
Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt. dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial yang juga akan dinilai dengan uang.
5.      Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian
Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu (a) teori hubungan faktual dan (b) teori penyebab kira-kira.
a.       Teori Hubungan Faktual
Hubungan sebab akibat secara factual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara factual telah terjadi. Setiap penyebab yang mengakibatkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “sine qua non”. Von Buri merupakan salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini.
b.      Teori Penyebab Kira-Kira
Teori ini bertujuan agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep proximate  cause atau sebab kira-kira. Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. Kadang-Kadang untuk penyebab jenis ini disebut juga dengan istilah legal cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya.

G.    Konsep Kesalahan Dalam Perbuatan Melawan Hukum

Di dalam ilmu hukum, unsur kesalahan dianggap ada jika memenuhi salah satu di antara 3 (tiga) syarat sebagai berikut:
1.      Ada unsur kesengajaan;
2.      Ada unsur kelalaian (negligence, culpa);
3.      Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf.
Kesalahan mencakup dua pengertian, yakni kesalahan dalam arti luas (terdapat kelalaian dan kesengajaan) dan kesalahan dalam arti sempit (hanya berupa kesengajaan). Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul bahwa perbuatannya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggung-jawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan, bahwa seseorang itu tahu betul akan adanya akibat itu, ialah bahwa seseorang itu tahu hal adanya keadaan-keadaan sekitar perbuatannya yang tertentu itu, yaitu keadaan-keadaan yang menyebabkan kemungkinan akibat itu akan terjadi. Dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdt., pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya. Vollmar menyatakan bahwa pembuat undan-gundang menerapkan istilah schuld (kesalahan) dalam beberapa arti yaitu:
a.       Pertanggungan jawab si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian, yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut;
b.      Kealpaan sebagai lawan kesengajaan;
c.       Sifat melawan hukum.
Dari segi berat ringannya, derajat kesalahan dari pelaku perbuatan melawan hukum, maka dibandingkan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan unsur kelalaian, maka perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan unsure kesengajaan derajat kesalahannya lebih tinggi. Jika seseorang yang dengan sengaja merugikan orang lain (baik untuk kepentingannya sendiri atau bukan), berarti dia telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut dalam arti yang sangat serius ketimbang dilakukannya hanya sekedar kelalaian belaka.
1.      Kesengajaan Dalam Unsur Kesalahan
Unsur kesengajaan dalam perbuatan melawan hukum dianggap ada apabila dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut telah menibulkan konsekuensi tertentu terhadap fisik dan/atau mental atau harta benda korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau mental) dari korban tersebut.79 Van Bemmelen dan Van Hattum telah mengemukakan adagium “tiada hukuman tanpa kesalahan” dan Rutten telah berusaha menerapkan adagium tersebut dalam bidnag perdata dengan mengemukakan tiada pertanggungan gugat atas akibat-akibat daripada perbuatannya yang melawan hukum tanpa kesalahan atau sebagaimana dikemukakan oleh Meyers bahwa perbuatan melawan hukum mengharuskan adanya kesalahan (een onrechtmatige daad verlangt schuld).[34]
Unsur kesengajaan dianggap eksis dalam suatu tindakan manakala memenuhi elemen-elemen sebagai berikut:
1.      Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan;
2.      Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi, bukan hanya adanya perbuatan saja;
3.      Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.
Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika terdapat maksud (intent) dari pihak pelakunya. Dalam hubungan dengan akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindakan kesengajaan tersebut, “rasa keadilan” memintakan agar hukum lebih memihak kepada korban dari tindakan tersebut, sehingga dalam hal ini hukum lebih menerima pendekatan yang “objektif”. Artinya, hukum lebih melihat kepada akibat dari tindakan tersebut kepada para korban, daripada melihat apa maksud yang sesungguhnya dari si pelaku, meskipun masih dengan tetap mensyaratkan adanya unsur kesengajaan tersebut. Semakin berkembangnya peradaban manusia dan dengan semakin baik dan pastinya penegakan hukum terhadap perbuatan melawan hukum, maka fakta sekarang menunjukkan bahwa kuantitas dari kasus-kasus perbuatan melawan hukum dalam bentuk kesengajaan semakin berkurang dan sebaliknya kuantitas perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian semakin bertambah banyak, seirama dengan semakin bertambah banyaknya kasus tentang tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability).
Dalam masalah perlindungan lingkungan hidup, berdasarkan perkembangan yurisprudensi di Nederland tampak adanya pergeseran dari pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (schuldaansprakelijkheid) ke arah pertanggung jawaban atas dasar risiko (risicoaansprakelijkheid).[35] Akan tetapi, di kalangan teoritisi di Nederland, masih belum terdapat kesatuan pendapat terutama perbedaan pendapat. Prof. Mr. J. M. Van Dunne berpendapat bahwa pertanggung jawaban atas perbuatan melawan hukum dalam masalah lingkungan hidup berdasarkan hasil penelitiannya terhadap beberapa arrest penting, menunjukkan tendensi yang bergerak ke arah risicoanspraakelijkheid86, setidak-tidaknya bersifat pseudorisico 82 Dalam hal ini, perlu dibedakan antara istilah “maksud” dengan “motif”. Istilah “maksud” diartikan sebagai suatu keinginan untuk menghasilkan suatu akibat tertentu. Jika kita menyulut api ke sebuah mobil, tentu tindakan tersebut. Akan tetapi, motif dari membakar mobil tersebut bisa bermacam-macam, misalnya motifnya adalah sebagai tindakan balas dendam, protes, menghukum, membela diri, dan lain-lain.
Sebaliknya, Prof. Mr. J. B. M. Vranken tidak sependapat sama sekali dengan Van Dunne dengan mengatakan bahwa menurut hukum yang berlaku sekarang, yang lalu, maupun yang akan datang adalah tetap didasarkan pada adanya kesalahan, sebab Nederland tidak mengenal adanya pertanggung jawaban secara umum untuk hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang dapat menciptakan keadaan berbahaya. Apabila diterapkan sistem risico aansprakelijkheid maka otomatis si pelaku pencemaran bertanggung jawab sekalipun tidak ada kesalahan padanya, dan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan. Di sini kita dihadapkan pada ajaran tentang strict liability, di mana pertanggung jawaban ada pada si pelaku pencemaran secara mutlak, terlepas dari fakta apakah terdapat kesalahan atau tidak pada pihaknya.[36] Tidak ada persyaratan tentang perlu adanya kesalahan merupakan cirri utama strict liability. Dengan berkembangnya industry yang makin menghasilkan risiko yang bertambah besar dan makin rumitnya hubungan sebab akibat maka teori hukum telah meninggalkan konsep kesalahan dan berpaling ke konsep risiko.[37] Pasal 1365 KUHPerdt. mengandung prinsip “liability based on fault” dengan beban pembuktian pada penderita. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 1865 KUHPerdt90. Sampai saat ini strict liability dalam Pasal 1365 KUHPerdt.
Masih dan hanya diterapkan secara khusus dalam pasal-pasal tertentu, antara lain Pasal 1367 KUHPerdt. yang mengatur mengenai tanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan orang lain, misalnya 86 Inti dari ajaran risico ialah dengan diciptakannya keadaan berbahaya menimbulkan risiko yang terletak pada pihak yang melakukan perbuatan atau yang melakukan pengotoran/pencemaran dan bahwa karenanya diwajibkan untuk mengambil tindakan-tindakan tersebut dengan sendirinya berakibat bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. 90 Pasal 1865 KUHPerdt.: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut” tanggung jawab orang tua/wali terhadap anak-anaknya yang belum dewasa, majikan terhadap bawahan mereka, guru dan kepala tukang bertanggung jawab terhadap murid-murid dan tukang-tukang mereka.
2.      Kelalaian Dalam Unsur Kesalahan
Dalam sejarah hukum, mula-mulanya kelalaian tidak diterima sebagai suatu bidang perbuatan melawan hukum yang berdiri sendiri. Di negara-negara Eropa Kontinental barulah setelah kasus Lindenbaum vs. Cohen, perbuatan kelalaian (ketidak hati-hatian) yang berupa pelanggaran terhadap kebiasaan dan kepatutan dalam masyarakat, diterima sebagai suatu bagian dari perbuatan melawan hukum. Namun demikian di negara-negara Common Law, pengakuan perbuatan kelalaian sebagai bidang yang mandiri dari perbuatan melawan hukum telah diterima sejak awal abad ke-19. Pada tahap-tahap awal perkembangannya, perbuatan kelalaian diterima dalam kasus-kasus kelalaian dari orang yang menjalankan kepentingan publik, seperti dokter dan pengangkut manusia. Perkembangan pengakuan terhadap perbuatan di awal abad ke-19 tersebut mempunyai hubungan sebab-akibat dengan perkembangan revolusi industri saat itu. Sebab, banyak juga kasus kelalaian diterapkan terhadap kasus-kasus kelalaian pelaku industri yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat.

 

 

 

 

 

 





PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dengan demikian pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas: bahwa perbuatan itu tidak saja melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya atau yang berbuat, tetapi perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan kepantasan terhadap diri atau benda orang lain, yang seharusnya ada di dalam masyarakat, dalam arti bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, seperti adat istiadat dan lain-lain.
unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh para sarjana di atas mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang digunakan dan ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum


















DAFTAR PUSTAKA


Fuady I., Munir, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Fuady II., Munir, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
H.F.A.Volmar, Pengantar Study Hukum Perdata (Diterjemahkan Oleh I.S.
Adiwinata), Rajawali Pers, Jakarta, 2004.
Abdulkadir., Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006
R. Suryatin, Hukum Perikatan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001,
Prodjodikoro, R. Wirjono., Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur, Bandung, 2003,
Abdulhay., Marheinis, Hukum Perdata, Pembinaan UPN, Jakarta, 2006,
Munir Fuady III., Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra
Aditya Bhakti, Bandung, 2001
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung, 2007,
M. Yahya Harahap., Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2002,
N.E. Algra., Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, 2003,
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 2002,



[1] Munir Fuady I, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 80
[2] Ibid, hal. 81
[3] Ibid, hal.3
[4] Munir Fuady II, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.3
[5].H.F.A.Volmar, Pengantar Study Hukum Perdata (Diterjemahkan Oleh I.S. Adiwinata), Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal.184.
[6]  Ibid., hal.185
[7]  Abdulkadir Muhammad., Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002, hal.142

[8] Ibid, hal.144.
[9] Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.21
[10] Ibid, hal.24
[11]  R. Suryatin, Hukum Perikatan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal.82.
[12]  Ibid, hal.83
[13]  R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur, Bandung, 2003, hal.72.
[14]  Abdulkadir Muhammad., Op.Cit, hal.148
[15]  Marheinis Abdulhay, Hukum Perdata, Pembinaan UPN, Jakarta, 2006, hal.83
[16] R. Wirjono Prodjodikoro, hal. 85.

[17]  Abdulkadir Muhammad., Op.Cit, hal.147.
[18]  Marheinis Abdulhay., Op.Cit, hal.84.
[19]  Ibid, hal.85
[20]  R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung, 2007, hal.87
[21]  Marheinis Abdulhay, Op.Cit, hal.82
[22]  Ibid, hal.83
[23]  M. Yahya Harahap., Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2002, hal.42
[24] Marheinis Abdulhay., Op.Cit, hal.89
[25] N.E. Algra., Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, 2003, hal.549.
[26]  M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal.61
[27] Abdulkadir Muhammad., Op.Cit, hal.39.

[28]  Ibid, hal.41
[29]  Ibid, hal.42
[30]  J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 2002, hal.47
[31]  Ibid, hal.49
[32] Munir Fuady III., Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, hal.34
[33] Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal 40-44.

[34] Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal 68 seperti dikutip oleh Rosa Agustina dalam Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 36.

[35] Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 30. seperti dikutip oleh Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 48
[36] Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1993), hlm. 30. seperti dikutip oleh Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 49
[37] Sri Setianingsih Suwardi, Perbuatan Melawan Hukum Secara Khusus, Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum, BPHN, 1996/1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar