MAKALAH
PERBUATAN MELAWAN
HUKUM
ADMINISTRASI
PERADILAN
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Rudi Iskandar
(14140064)
Dosen Pembimbing
Jumanah SH. MH
![]() |
JURUSAN AKHWAL SKHASIYAH, FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM,
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini
berhasil diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun judul makalah ini adalah “Pebuatan Melawan Hukum”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Adminitrasi Peradilan.
Diharapkan makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan
mengenai Pebuatan Melawan Hukum.
Sehingga dapat dijadikan bahan Referensi.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini. Akhir kata saya ucapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini. Akhir kata saya ucapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan.
Palembang, 31 Mei2017
Penyusun,
Penyusun,
Rudi iskandar
DAFATAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... I
DAFTAR ISI......................................................................................................................... II
PENDAHULUAN................................................................................................................ III
A.
Latar Belakang Masalah............................................................................................ III
B.
Rumusan masalah ..................................................................................................... III
C.
Tujuan ....................................................................................................................... III
BaB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM................................................................... 1
A. Pengertian
Perbuatan Melawan Hukum.................................................................... 1
B. Unsur
– unsur Perbuatan Melawan Hukum............................................................... 6
C. Subjek
Perbuatan Melawan Hukum.......................................................................... 13
D. Tuntutan
Ganti Kerugian Karena perbuatan Melawan Hukum................................. 13
E. Perbedaan
Antara Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum....................... 14
F. Hal
– hal yang menghilangkan sifat Melawan Hukum.............................................. 16
G. Konsep
kesalahan Dalam Perbuatan Melawan Hukum............................................. 22
PENUTUP ............................................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebenarnya sudah
dikenal sejak menusia mengenal Hukum dan telah dimuat dalam Kitab Hukum tertua
yang pernah dikenal sejarah yaitu Kitab Hukum Hammurabi (dibuat lebih dari
empat ribu tahun yang lalu). Dalam kitab tersebut diatur mengenai akibat hukum sesorang
yang melakukan perbuatan tertentu yang sebenarnya tergolong dalam perbuatan
melawan hukum.
Perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum
di negeri Belanda sangat berpengaruh didalam perkembangan di lndonesia karena
kaidah hukum di sana berlaku negeri jajahannya berdasarkan azas konkordansi termasuk
Indonesia. Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum di
negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode yaitu : Periode sebelum tahun
1838 , Periode antara tahun 1838-1919, Periode setelah tahun 1919 . Suatu subjek dari hubungan hukum, orang
pribadi atau badan hukum yanag dalam kedudukan demikian berwenang melakukan
tindakan hukum"
B.
Rumusan masalah
1. Apa yang di Maksud Perbuatan
Melawan Hukum ?
2. Sejak kapan Perbuatan melawan
hukum itu ada ?
3. Bagaimana apa kaitannya hukum
belanda dan Indonesia :
D.
Tujuan
Untuk lebih mengetahui lebih luas Perbuatan melawan hukum
pada zaman sebelum merdeka atau masa penjajahan belanda dengan Indonesia
BAB II
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Hukum di Prancis yang semula juga
mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex
Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu
prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua
(catch all), berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan
yang merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya
menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut
kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda
dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang temukan dalam Pasal 1365
KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH
Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi
perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon. [1]
Perkembangan sejarah tentang
perbuatan melawan hukum di negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode yaitu
:
a. Periode sebelum tahun 1838
Adanya kodifikasi sejak tahun 1838
membawa perubahan besar terhadap pengertian perbuatan melawan hukum yang
diartikan pada waktu itu sebagai on wetmatigedaad (perbuatan melanggar
undang-undang) yang berarti bahwa suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan
undang-undang.
b. Periode antara tahun 1838-1919
Setelah tahun 1883 sampai sebelum
tahun 1919, pengertian perbuatan melawan hukum diperluas sehingga mencakup juga
pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain. Dengan kata lain perbuatan
melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak subjektif orang lain. Dalam hal
ini Pasal 1365 KUH Perdata diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum
(culpa in committendo) sedangkan Pasal 1366 KUH.Perdata dipahami sebagai
perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan (culpa in ommittendo). Apabila
suatu perbuatan (berbuat atau tidak berbuat) tidak melanggar hak subjektif
orang lain atau tidak melawan kewajiban hukumnya/tidak melanggar undang-undang,
maka perbuatan tersebut tidak termasuk perbuatan melawan hukum.
c. Periode setelah tahun 1919
Terjadi penafsiran luas melalui
putusan Hoge Raad terhadap perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda
atau 1365 KUH Perdata Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan
tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula
yang cukup kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes.
Menurut sistem Common Law sampai
dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai
suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari
writ (model gugatan yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain.[2]
Penggunaan writ ini kemudian lambat
laun menghilang. Seiring dengan proses hilangnya sistem writ di Amerika
Serikat, maka perbuatan melawan hukum mulai diakui sebagai suatu bidang hukum
tersendiri hingga akhirnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan
melawan hukum terdiri dari tiga bagian:
a. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)
b. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)
c. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak).[3] .
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka
yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain. Ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan
melawan hukum, yaitu :
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian)
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.[4]
Dengan demikian tiap perbuatan
melanggar, baik sengaja maupun tidak sengaja yang sifatnya melanggar. Berarti
unsur kesengajaan dan kelalaian di sini telah terpenuhi. Kemudian yang dimaksud
dengan hukum dalam Pasal tersebut di atas adalah segala ketentuan dan
peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis dan segala sesuatu yang dianggap sebagai hukum. Berarti jelas bahwa
yang dilanggar itu adalah hukum dan yang dipandang atau dianggap sebagai hukum,
seperti undang-undang, adat kebiasaan yang mengikat, keputusan hakim dan lain
sebagainya.
Selanjutnya agar pelanggaran hukum
ini dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, akibat dari
pelanggaran hukum itu harus membawa kerugian bagi pihak lain. Karena adakalanya
pelanggaran hukum itu
tidak harus membawa kerugian kepada
orang lain, seperti halnya seorang pelajar atau mahasiswa tersebut dapat
dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ? padahal dalam hal itu ada
peraturan yang dibuat oleh sekolah atau universitas masing-masing.
Dengan demikian antara kalimat
"tiap perbuatan melanggar hukum", tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan lainnya, bahkan harus sejalan dalam mewujudkan pengertian dari perbuatan
melawan hukum tersebut. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH. Perdata
tersebut di atas.
Dalam arti sempit, perbuatan
melawan hukum diartikan bahwa "orang yang berbuat pelanggaran terhadap
orang lain atau ia telah berbuat bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya
sendiri".[5]
Setelah adanya arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari 1919,
maka pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu :
Hal berbuat atau tidak berbuat itu
adalah melanggar hak orang lain, atau itu adalah bertentangan dengan kewajiban
hukum dari orang yang berbuat (sampai di sini adalah merupakan perumusan dari
pendapat yang sempit), atau berlawanan baik dengan kesusilaan maupun melawan kepantasan yang
seharusnya ada di dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau benda orang
lain)".[6]
Dengan demikian pengertian
perbuatan melawan hukum dalam arti luas berdasarkan pernyataan di atas, bahwa
perbuatan itu tidak saja melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan
kewajiban hukum dari pelakunya atau yang berbuat, tetapi perbuatan itu juga
berlawanan dengan kesusilaan dan kepantasan terhadap diri atau benda orang
lain, yang seharusnya ada di dalam masyarakat, dalam arti bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, seperti adat istiadat dan lain-lain.
Abdulkadir Muhammad berpendapat,
bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti sempit hanya mencakup Pasal 1365
KUHPerdata, dalam arti pengertian tersebut dilakukan secara terpisah antara
kedua Pasal tersebut. Sedangkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti
luas adalah merupakan penggabungan dari kedua Pasal tersebut.
Lebih jelasnya pendapat tersebut
adalah :
Perbuatan dalam arti "perbuatan melawan hukum"
meliputi perbuatan positif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda
"daad" (Pasal 1365) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa asli
bahasa Belanda "nataligheid" (kelalaian) atau
"onvoorzigtgheid" (kurang hati-hati) seperti ditentukan dalam Pasal
1365 KUH. Perdata.[7]
Dengan demikian Pasal 1365
KUHPerdata untuk orang-orang yang betul-betul berbuat, sedangkan dalam Pasal
1366 KUHPerdata itu untuk orang yang tidak berbuat. Pelanggaran kedua Pasal ini
mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti kerugian. Perumusan perbuatan
positif Pasal 1365 KUHPerdata dan perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPerdata hanya
mempunyai arti sebelum ada putusan Mahkamah Agung Belanda 31 Januari 1919,
karena pada waktu itu pengertian melawan hukum (onrechtmatig) itu masih sempit.
Setelah putusan Mahkamah Agung Belanda tersebut, pengertian melawan hukum itu
sudah menjadi lebih luas, yaitu mencakup juga perbuatan negatif. Ketentuan
Pasal 1366 KUHPerdata itu sudah termasuk pula dalam rumusan Pasal 1365
KUHPerdata.
Berdasarkan pengertian perbuatan
melawan hukum di atas, baik yang secara etimologi, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, keputusan Mahkamah Agung Belanda dengan arrest tanggal 31 Januari 1919
dan pendapat para sarjana hukum, walaupun saling berbeda antara satu sama
lainnya, namun mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penegasan
terhadap tindakan-tindakan seseorang yang telah melanggar hak orang lain atau
yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, sementara tentang hal
tersebut telah ada aturannya atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, baik
secara tertulis maupun tidak tertulis, seperti adat kebiasaan dan lain
sebagainya.[8]
Ajaran sifat melawan hukum memiliki
kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini
terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materil.[9]
1. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal
Sifat melawan hukum formal terjadi
karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal
merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum
formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat
dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada
alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara
tegas dalam undang-undang.
2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil.
Ajaran sifat melawan hukum materil
adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran
ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain,
alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.
B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Unsur-unsur yang harus dipenuhi
agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ialah :
1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig).
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).
4. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan
kausal.[10]
Berbeda halnya dengan pendapat
yang dikemukakan oleh R. Suryatin, yang mengatakan :
Pasal 1365 memuat beberapa unsur
yang harus dipenuhinya, agar supaya dapat menentukan adanya suatu perbuatan
melanggar hukum. Unsur pertama adalah perbuatan itu harus melanggar
undang-undang. Perbuatan itu menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara
perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada
kesalahan di pihak yang berbuat.[11]
Menurut pernyataan di atas unsur
dari perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.
2. Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan
dan akibat harus ada sebab musabab.
3. Harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.[12]
Dibandingkan kedua unsur-unsur
tersebut di atas, jelas terlihat perbedaannya, dimana menurut pendapat
Abdulkadir Muhammad, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakannya
lebih luas, jika dibandingkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang
dikemukakan oleh R. Suryatin. Kalau perbuatan yang dikemukakan Abdulkadir
Muhammad lebih luas, yaitu terhadap hukum yang termasuk di dalamnya
Undang-Undang. Sedangkan perbuatan yang dikemukakan R. Suryatin, hanya terhadap
Undang-undang saja. Kemudian antara perbuatan dan akibat terdapat hubungan
kausal (sebab musabab), menurut Abdulkadir Muhammad merupakan salah satu unsur,
sedangkan menurut R. Suryatin digabungkan dengan unsur perbuatan itu
menimbulkan kerugian.
Abdulkadir Muhammad menyebutkan
bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum yaitu :[13]
1. Perbuatan itu harus melawan hukum
Prinsipnya tentang unsur yang pertama
ini telah dikemukakan di dalam sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-syarat
perbuatan melawan hukum. Dalam unsur pertama ini, sebenarnya terdapat dua
pengertian, yaitu "perbuatan" dan "melawan hukum". Namun
keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini
dapat dibuktikan dengan dua cara, yaitu dengan cara penafsiran bahasa, melawan
hukum menerangkan sifatnya dari perbuatan itu dengan kata lain "melawan
hukum" merupakan kata sifat, sedangkan "perbuatan" merupakan
kata kerja. Sehingga dengan adanya suatu "perbuatan" yang sifatnya
"melawan hukum", maka terciptalah kalimat yang menyatakan
"perbuatan melawan hukum".
Kemudian dengan cara penafsiran
hukum. Cara penafsiran hukum ini terhadap kedua pengertian tersebut, yaitu
"perbuatan", untuk jelasnya telah diuraikan di dalam sub bab di atas,
baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Pengertian perbuatan melawan
hukum dalam arti sempit, hanya meliputi hak orang lain, dan kewajiban si
pembuat yang bertentangan atau hanya melanggar hukum/undang-undang saja.
Pendapat ini dikemukakan sebelum adanya arrest Hoge Raad Tahun 1919. Sedangkan
dalam arti luas, telah meliputi kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam
lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang-barang orang lain. Pendapat ini
dikemukakan setelah pada waktu arrest Hoge Raad Tahun 1919 digunakan.
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
Kerugian yang dimaksud di dalam
unsur kedua ini, Undang-undang tidak hanya menjelaskannya tentang ukurannya dan
yang termasuk kerugian itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat dari kerugian
tersebut, yaitu materiil dan imateriil. “Kerugian ini dapat bersifat kerugian
materil dan kerugian inmateril, Apa ukurannya, apa yang termasuk kerugian itu,
tidak ada ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan
perbuatan melawan hukum”.[14]
Dengan pernyataan di atas,
bagaimana caranya untuk menentukan kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan
melawan hukum tersebut. Karena undang-undang sendiri tidak ada menentukan
tentang ukurannya dan apa saja yang termasuk kerugian tersebut. Undang-undang
hanya menentukan sifatnya, yaitu materil dan inmateril.
Termasuk kerugian yang bersifat materil dan inmateril ini
adalah :
1. Materil, maksudnya bersifat kebendaan (zakelijk). Contohnya :
Kerugian karena kerusakan tubrukan mobil, rusaknya rumah, hilangnya keuntungan,
keluarnya ongkos barang dan sebagainya.
2. Immateril, maksudnya bersifat tidak kebendaan. Contohnya :
Dirugikan nama baik seseorang, harga diri, hilangnya kepercayaan orang lain,
membuang sampah (kotoran) di pekarangan orang lain hingga udara tidak segar
pada orang itu atau polusi, pencemaran lingkungan, hilangnya langganan dalam
perdagangan.[15]
Berdasarkan pernyataan di atas,
apakah contoh-contoh tersebut telah memenuhi ukuran dari kerugian yang
diisebabkan oleh perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat saja terjadi, karena
undang-undang itu sendiri tidak ada mengaturnya. Namun demikian bukan berarti
orang yang dirugikan tersebut dapat menuntut kerugian orang lain tersebut
sesuka hatinya. Karena ada pendapat yang mengatakan :
Hoge Raad berulang-ulang telah memutuskan, bahwa kerugian
yang timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan
yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian (Pasal 1246-1248), walaupun
ketentuan tersebut tidak dapat langsung diterapkan. Akan tetapi jika penerapan
itu dilakukan secara analogis, masih dapat diperkenankan.[16]
Dalam praktek hukumnya, pernyataan
di atas dapat dibuktikan kebenarannya, bahwa secara umum pihak yang dirugikan
selalu mendapat ganti kerugian dari si pembuat perbuatan melawan hukum, tidak
hanya kerugian yang nyata saja, tetapi keuntungan yang seharusnya diperoleh
juga diterimanya. Dengan demikian, kerugian yang dimaksud pada unsur kedua ini,
dalam prakteknya dapat diterapkan ketentuan kerugian yang timbul karena
wanprestasi dalam perjanjian. Walaupun penerapan ini hanya bersifat analogi.
Namun tidak menutup kemungkinan terlaksananya penerapan ketentuan tersebut
terhadap perbuatan melawan hukum. Alasannya, karena tidak adanya pengaturan
lebih lanjut dari Undang-undang tentang hal tersebut, sehingga masalah ini
dapat merupakan salah satu masalah pengembangan hukum perdata, yang layak untuk
diteliti.
3. Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan dalam uraian ini, ialah
perbuatan yang disengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan atau yang
perbuatan itu melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Menurut hukum perdata, seseorang
itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah
melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan.
Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari
pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-dira. Dapat dikira-kira itu harus
diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam
keadaan tertentu perbuatan seharusnya dilakukan/tidak di lakukan.[17]
Berdasarkan pendapat di atas,
berarti perbuatan melawan hukum itu adalah perbuatan yang sengaja atau lalai
melakukan suatu perbuatan. Kesalahan dalam unsur ini merupakan suatu perbuatan
yang dapat dikira-kira atau diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal
sebagai tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan
demikian, melakukan atau tidak melakukan dapat dikategorikan ke dalam bentuk
kesalahan. Pendapat di atas dapat dimaklumi, karena sifat dari hukum adalah
mengatur, yang berarti ada larangan dan ada suruhan. jika seseorang melakukan
suatu perbuatan, perbuatan mana dilarang oleh undang-undang, maka orang
tersebut dinyatakan telah bersalah. Kemudian jika seseorang tidak melakukan
perbuatan, sementara perbuatan itu merupakan perintah yang harus dilakukan,
maka orang tersebut dapat dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian kesalahan
dari maksud pernyataan di atas.
Kemudian ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa "kesalahan itu dapat terjadi, karena : disengaja dan
tidak disengaja".[18]
Tentunya yang dimaksud dengan disengaja dan tidak disengaja dalam pernyataan di
atas adalah dalam hal perbuatan. Apakah perbuatan itu disengaja atau perbuatan
itu tidak disengaja. Tentang disengaja dan tidak disengaja berarti kesalahan
itu dapat terjadi dan dilakukan akibat dari suatu kelalaian. Jika kelalaian
dapat dianggap suatu unsur dari kesalahan, maka menurut pandangan hukum, kodrat
manusia sebagai makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan dan kesilapan,
merupakan satu pedoman dasar di dalam menentukan bahwa perbuatan itu termasuk
ke dalam suatu perbuatan yang melawan hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi.
Tetapi di dalam kenyataannya, kenapa masih banyak orang yang telah melakukan
perbuatan melawan hukum, dapat menghindari dirinya dari tuduhan dan gugatan
tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan hukum yang ditunjukkan
kepadanya.
Perbuatan yang memang disengaja,
berarti sudah ada niat dari pelakunya atau si pembuat. Tetapi jika perbuatan
itu tidak disengaja untuk dilakukan, dalam arti unsur kesilapan, suatu contoh
dalam hal pembayaran harga barang dalam jual beli tanah yang dilakukan si
pembeli, apakah si pembeli dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan
hukum, menurut pendapat di atas. Atau seorang kasir pada suatu bank, yang silap
melakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah. Apakah perbuatan si kasir
tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dan kepadanya dapat digugat
Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut.
4. Antara perbuatan dan kerugian ada hubungan kausal.
Pasal 1365 KUH. Perdata, hubungan
kausal ini dapat terlihat dari kalimat perbuatan yang karena kesalahaannya
menimbulkan kerugian. Sehingga kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan,
atau kerugiaan itu merupakan akibat dari perbuatan. Hal yang menjadi masalah di
sini, apakah kerugian itu merupakan akibat perbuatan, sejauhmanakah hal ini
dapat dibuktikan kebenarannya. Jika antara kerugian dan perbuatan terdapat
hubungan kausalitas (sebab akibat), maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa
setiap kerugian merupakan akibat dari suatu perbuatan. Apakah pendapat tersebut
tidak bertentangan dengan hukum alam, yang menyatakan bahwa terjadinya alam
ini, mengalami beberapa proses yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling
berkaitan.
Kemudian menurut pendapat sarjana
sosiologi, timbulnya hukum di dalam masyarakat hukum hanya disebabkan adanya
faktor persaingan hidup dalam masyarakat itu sendiri, tetapi dipengaruhi oleh
disebabkannya adanya faktor kehidupan lainnya, seperti faktor biologis, faktor
kejiwaan, faktor keamanan dan faktor-faktor kebendaan lainnya. Tujuannya untuk
mengatur dan melindungi serta mengayomi hidup dan kehidupannya, baik secara
individu maupun secara kelompok dalam masyarakat.[19]
Berarti, dilihat dari uraian di
atas, hubungan kausalitas tersebut terdiri dari beberapa sebab yang merupakan
peristiwa, sehingga kerugian bukan hanya disebabkan adanya perbuatan, tetapi
terdiri dari beberapa syarat dari perbuatan.
Hal ini sesuai dengan pendapat atau
teori yang dikemukakan oleh Von Buri, yaitu :
Harus dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan
adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Karena dengan
hilangnya salah satu syarat tersebut, akibatnya tidak akan terjadi dan oleh
sebab tiap-tiap syarat-syarat tersebut conditio sine qua non untuk timbulnya
akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab.[20]
Hubungan kausalitas yang merupakan
salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum dapat dikatakan bahwa kerugian
itu timbul disebabkan adanya perbuatan yang sifatnya melawan hukum.
Marheinis Abdulhay menyatakan bahwa
unsur-unsur perbuatan melawan hukum itu adalah :
Dari pengertian Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut dapat
ditarik beberapa unsur perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yaitu :
1. Perbuatan.
2. Melanggar.
3. Kesalahan.
4. Kerugian.[21]
Diperhatikan pernyataan di atas dan
jika dibandingkan dengan pembagian unsur-unsur yang telah dikemukakan
terdahulu, perbedaan-perbedaan unsur-unsur tersebut sangat jelas terlihat.
Hubungan kausalitas atau sebab musabab yang termasuk salah satu unsur atau
bagian dari salah satu unsur perbuatan yang mengakibatkan kerugian, menurut
pendapat para sarjana terdahulu. Sementara menurut Marheinis Abdulhay, hubungan
kausalitas atau sebab musabab ini bukan merupakan salah satu unsur dari perbuatan
melawan hukum.[22]
Tidak termasuknya hubungan
kausalitas tersebut ke dalam unsur-unsur perbuatan melawan hukum disebabkan
tidak terdapatnya hubungan kausalitas tersebut di dalam pengertian Pasal 1365
KUHPerdata, sehingga sarjana tersebut hanya melihat hal-hal yang jelas dan
nyata saja dari bunyi Pasal tersebut, dalam arti ia hanya melihat hal-hal yang
tersurat. Sedangkan hubungan kausalitas menurut pendapat sarjana yang lain, itu
merupakan hal yang tersirat. Sehingga tidak perlu disebutkan sebagai salah satu
unsur.
Selain itu, kelihatannya
unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh Marheinis Abdulhay
ini jelas sederhana jika dibandingkan dengan dengan unsur-unsur yang
dikemukakan oleh sarjana yang lain. Namun demikian secara kenyataannya,
unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh para sarjana di atas
mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan
terhadap kriteria-kriteria dari suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata
lain, unsur manapun yang digunakan dan ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan
bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.[23]
C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Marheinis Abdulhay bahwa
"yang dinyatakan bersalah adalah subjek hukum atau orang (person), karena
subjek diakui mempunyai hak dan kewajiban".[24]
Berarti berdasarkan pernyataan tersebut dinyatakan bersalah adalah subjek hukum
yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum adalah juga subjek
hukum, alasannya karena subjek hukum mempunyai hak dan kewajibaan.
Subjek dalam kamus istilah hukum
adalah "pokok, subjek dari hubungan hukum, orang pribadi atau badan hukum
yanag dalam kedudukan demikian berwenang melakukan tindakan hukum".[25]
Berarti yang termasuk dikatakan atau digolongkan sebagai subjek dalam pandangan
hukum adalah orang pribadi dan badan hukum. Kemudian yang dimaksud dengan
subjek hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang dalam kedudukannya
sebagai subjek mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan hukum. Dengan
demikian yang termasuk subjek perbuatan melawan hukum adalah orang pribadi atau
badan hukum yang telah melakukan tindakan atau perbuatan yang sifatnya melawan
hukum.
D. Tuntutan Ganti Kerugian Karena Perbuatan Melawan Hukum
Ada hubungan yang erat antara ganti
rugi yang terjadi karena adanya wanprestasi dalam suatu perjanjian dengan apa
yang dikenal dengan ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum
(onrechtmetige daad). Sebab dengan tindakan debitur dalam melaksanakan
kewajiban "tidak tepat waktu" atau "tidak layak", adalah
jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang lain,
berarti pula merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.
“Memang hampir serupa
onrechtmatigedaad dengan wanprestasi, itu sebabnya dikatakan bahwa wanprestasi
adalah juga merupakan "genus specifik" dari onrechtmatigedaad seperti
yang dirumuskan dalam Pasal 1365 KUHPerdata”.[26]
Dengan demikian, jika diperhatikan bahwa para ahli menyebutkan juga bahwa
ketentuan tentang ganti rugi yang terdapat di dalam bagian wanprestasi tersebut
juga berlaku akan halnya dengan ganti rugi sebagai akibat dari adanya perbuatan
melawan hukum tersebut. Dengan pengertian lain, ketentuan ganti rugi dalam
wanprestasi dapat diberlakukan secara analogis dalam hal adanya ganti rugi
karena perbuatan melawan hukum.
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa
yang dimaksudkan dengan ganti kerugian itu ialah "ganti kerugian yang
timbul karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai".[27]
Sebagai perbandingan tentang ganti kerugian disebabkan wanprestasi dan ganti
rugi sebagai akibat adanya perbuatan yang melawan hukum, berikut ini akan
dikutipkan Pasal 1243 KUHPerdata dan Pasal 1365 KUHPerdata.
Pasal 1243 KUHPerdata, dengan tegas
disebutkan bahwa penggantin biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya
suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya. Sedangkan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata disebutkan
bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut. Jika diperhatikan dengan seksama kedua kutipan pasal
tersebut, jelas tidak ada disebutkan dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan
ganti rugi itu sendiri, hanya saja, ganti rugi dalam hal wanprestasi
berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata baru timbul bilamana debiturnya telah
dinyatakan berada dalam keadaan lalai setelah dilakukannya peringatan tetapi
tetap juga dilalaikannya. Sedangkan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata juga tidak
disebutkan tentang apa yang dimaksud dengan pengertian ganti rugi itu.[28]
E. Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa
yang dimaksud dengan wanprestasi adalah "tidak memenuhi kewajiban yang
timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang".[29]
Berdasarkan pendapat tersebut, maka unsur-unsur wanprestasi itu adalah :
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.[30]
Diperhatikan pengertian dan
unsur-unsur wanprestasi tersebut bukanlah tidak menutup kemungkinan tindakan
wanprestasi ini dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, karena dengan
tidak dipenuhinya kewajiban itu ada kemungkinan disebabkan dua hal yaitu :
1. Kesalahan salah satu pihak, baik sengaja maaupun karena lalai.
2. Keadaan memaksa (force majeur).[31]
Kemungkinan itu disebabkan oleh
keadaan memaksa (force majeur) mungkin hal ini dapat diterima sebagai
wanprestasi, Tetapi jika kemungkinan itu disebabkan kesalahan baik disengaja
maupun tidak sengaja. Apakah kemungkinan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi
juga atau dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan-persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik.
Pasal 1338 KUHPerdata ini
dihubungkan dengan kemungkinan yang disebabkan kesalahan baik sengaja maupun
tidak sengaja yang merupakan salah satu kemungkinan terjadinya wanprestasi.
Berarti tindakan itu bukan tindakan wanprestasi, tetapi perbuatan melawan hukum
dengan alasan salah satu pihak telah melangar persetujuaan yang berlaku sebagai
undang-undang atau bertentangan dengan kewajibannya.
Sebenarnya dari pengertian kedua
lembaga ini dapat dilihat perbedaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan
hukum yaitu bahwa di dalam wanprestasi terdapat istilah somasi yaitu penetapan
lalai yang disebut dalam Pasal 1274 KUHPerdata. Dengan demikian wanprestasi itu
terjadi apabila salah satu pihak atau debitur misalnya setelah penetapan lalai
ini ia masih tetap tidak melakukan atau memenuhi pretasinya maka si debitur
dapat dikatakan wanprestasi. Di samping itu, pada umumnya tindakan wanprestasi
ini ada dikarenakan suatu perikatan yang dibuat oleh kedua belah pihak, baik
perikatan yang berdasarkan perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang. Sedangkan perbuatan melawan hukum tidak ada penetapan lalai atau
peringatan terlebih dahulu. Kemudian pada umumnya perbuatan melawan hukum
terjadi bukan karena suatu perikatan tetapi terjadi dengan sendirinya yang
dilakukan oleh si pembuat terhadap aturan hukum atau ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
Persetujuan itu berlaku sebagai
undang-undang, namun bukan berarti pihak yang dengan kesalahannya tidak
melakukan perjanjian itu dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum,
tetapi ia dikatakan telah wanprestasi. Karena bersalah tidak melakukan prestasi
yang telah diperjanjikan dengan pihak lain.[32]
F. Hal-Hal Yang Menghilangkan Sifat Melawan Hukum
Seperti halnya dalam hukum Pidana,
demikian pula dalam hukum perdata, adakalanya terdapat hal-hal yang
menghilangkan sifat melawan hukum (alasan pembenar). Rosa Agustina menyatakan
ada 4 hal yang pada umumnya telah lazim sebagai alasan pembenar yaitu
1. Keadaan memaksa (overmacht);
Pengertian dari overmacht ialah
salah satu paksaan/dorongan yang datangnya dari luar yang tak dapat dielakkan
atau harus dielakkan. Overmacht adakalanya merupakan alasan pembenar
(rechtvaardigingsgrond) dan adakalanya alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond),
hal ini karena keadaan overmacht mempunyai sifat yang berbeda dan tidak harus
menimbulkan akibat yang sama. Overmacht memiliki bentuk tertentu, yaitu
noodtoestand yang timbul disebabkan oleh konflik kewajiban-kewajiban. Terdapat
noodtoestand apabila kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan karena
melawan hukum ditiadakan oleh suatu kewajiban lain atau suatu kepentingan yang
lebih tinggi tingkatnya. Overmacht dapat bersifat mutlak (absolut) atau
relatif. Disebut mutlak apabila setiap orang dalam keadaan terpaksa harus
melakukan perbuatan yang pada umumnya merupakan perbuatan melawan hukum,
sedangkan disebut relatif apabila seseorang melakukan perbuatan melawan hukum
oleh karena suatu keadaan, di mana ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut
daripada mengorbankan kepentingan sendiri dengan risiko yang sangat besar.
2. Pembelaan darurat atau terpaksa (noodweer);
Di dalam pembelaan terpaksa,
seseorang melakukan perbuatan yang terpaksa untuk membela diri sendiri atau
orang lain, kehormatan atau barang terhadap serangan yang tiba-tiba
yangbersifat melawan hukum. Setiap orang yang diserang orang lain berhak untuk membela
diri. Jika dalam pembelaan tersebut, ia terpaksa melakukan perbuatan melawan
hukum, maka sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut menjadi hilang. Untuk
menentukan bahwa perbuatan tersebut merupakan bela diri, harus ada serangan
yang ditujukan kepadanya dan pembelaan diri tidak boleh melampaui batas. Oleh
karena diserang dengan golok, untuk membela diri maka orang tersebut
menggunakan tongkat dan dipakai memukul tangan si penyerang, sehingga tangannya
patah. Dalam hal ini perbuatan tersebut tidak merupakan perbuatan melawan
hukum.
3. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang;
Perbuatan tidak merupakan perbuatan
melawan hukum apabila perbuatan itu dilakukan karena melaksanakan
undang-undang. Polisi yang menahan seseorang dan merampas kemerdekaannya; hakim
yang menghukum terdakwa; panitera yang melakukan sitaan tidak melakukan
perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang
adalah melawan hukum apabila wewenang tersebut disalahgunakan atau dalam hal
detournement de pouvoir.
4. Melaksanakan Perintah Atasan
Perbuatan orang yang melakukan
perintah atasan yang berwenang, bukan merupakan perbuatan melawan hukum.
Perintah atasan hanya berlaku sebagai alasan pembenar bagi orang yang
melaksanakan perintah tersebut. Tidak menutup kemungkinan, bahwa pemerintah
atau penguasa yang memberi perintah tersebut bertindak melawan hukum. Di dalam
praktek, alasan pembenar ini tidak begitu penting karena biasanya penguasa yang
digugat dan bukan pegawai yang melakukan perbuatan tersebut.
Wirjono Prodjodikoro menyatakan
bahwa hal-hal yang menghilangkan sifat melanggar hukum ditinjau dari
“perbuatannya” dengan tidak memandang tubuh dan kedudukan dari subyek perbuatan
melawan hukum adalah[33]
1. Hak pribadi;
2. Pembelaan diri (noodweer);
3. Keadaan memaksa (overmacht).
Sedangkan hal-hal mengenai subyek
perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan subyek tersebut meskipun telah
melakukan perbuatan melawan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan ialah
1. Perintah kepegawaian (ambtelijk bevel);
2. Hak menghakimi sendiri (eigen richting).
A. Kriteria Perbuatan
Melawan Hukum
Sejak putusan Hoge Raad tanggal 31
Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum- Cohen, konsep perbuatan melawan hukum
telah berkembang. Sejak itu terdapat 4 kriteria perbuatan melawan hukum:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subyektif orang lain;
3. Melanggar kaidah tata susila;
4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap
hati-hati yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta orang lain.
Kriteria pertama dan kedua
berhubungan dengan hukum tertulis sedangkan kriteria ketiga dan keempat
berhubungan dengan hukum tidak terulis. Hoffman menerangkan bahwa untuk adanya suatu
perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu:
1. Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan
perbuatan);
2. Die daad moet onrechtmatig zijn (perbuatan itu harus melawan
hukum);
3. Die daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht
(perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain);
4. De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena
kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya).
Sejalan dengan Hoffman, Mariam
Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syaratsyarat yang harus ada untuk menentukan
suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan. Yang dimaksud dengan perbuatan ini baik
yang bersifat poitif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku
berbuat atau tidak berbuat;
2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
3. Ada kerugian;
4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu
dengan kerugian;
5. Ada kesalahan;
Berikut ini penjelasan bagi
masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum
tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya Suatu Perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum
diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa
dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (aktif) maupun tidak
berbuat sesuatu (pasif). Oleh karena itu, terhadap perbuatan melawan hukum
tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa
yang diperbolehkan”sebagaimana yang terdapat dalam kontrak”.
2. Perbuatan Tersebut Melawan Hukum
Perbuatan yang dilakukan tersebut
haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan
dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;
b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum si pelaku;
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden);
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam
bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid,
welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzein van ander person of
goed)
3. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku
Agar dapat dikenakan Pasal 1365
KUHPerdt. tentang Perbuatan Melawan Hukum, undang-undang dan yurisprudensi
mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldement)
dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Dengan dicantumkannya syarat kesalahan
dalam Pasal 1365 KUHPerdt., pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa
pelaku perbuatan melawan hukum, hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya
apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya. Suatu tindakan dianggap
oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung
jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Ada unsur kesengajaan;
b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa);
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf
(rechtvaardigingsgrond),
seperti keadaan overmacht, membela
diri, tidak waras, dan lain-lain. Terdapat tiga aliran terhadap persyaratan
unsur “kesalahan” di samping unsur “melawan hukum” dalam suatu perbuatan
melawan hukum, yaitu
a. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melawan hukum saja;
Aliran ini menyatakan bahwa dengan
unsur melawan hukum terutama dalam artinya yang luas, sudah inklusif unsur
kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur kesalahan terhadap
suatu perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Van
Oven.
b. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur kesalahan saja;
Aliran ini menyatakan bahwa dengan
unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan hukum di dalamnya,
sehingga tidak diperlukan lagi unsur “melawan hukum” terhadap suatu perbuatan
melawan hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Van Goudever.
c. Aliran yang menyatakan diperlukan baik unsur melawan hukum
maupun unsur kesalahan.
Aliran ini mengajarkan bahwa suatu
perbuatan melawan hukum mesti mensyaratkan unsur melawan hukum dan unsur
kesalahan sekaligus, karena dalam unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup
unsur kesalahan. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Meyers.
4. Adanya Kerugian Bagi Korban
Adanya kerugian (schade) bagi
korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt.
dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya
mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di
samping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian
immaterial yang juga akan dinilai dengan uang.
5. Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian
Hubungan kausal antara perbuatan
yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu
perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori,
yaitu (a) teori hubungan faktual dan (b) teori penyebab kira-kira.
a. Teori Hubungan Faktual
Hubungan sebab akibat secara
factual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang
secara factual telah terjadi. Setiap penyebab yang mengakibatkan timbulnya
kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya)
tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan
melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai
“sine qua non”. Von Buri merupakan salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang
sangat mendukung ajaran akibat faktual ini.
b. Teori Penyebab Kira-Kira
Teori ini bertujuan agar lebih
praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil,
maka diciptakanlah konsep proximate cause
atau sebab kira-kira. Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan
dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan
hukum. Kadang-Kadang untuk penyebab jenis ini disebut juga dengan istilah legal
cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya.
G. Konsep Kesalahan Dalam Perbuatan Melawan Hukum
Di dalam ilmu hukum, unsur
kesalahan dianggap ada jika memenuhi salah satu di antara 3 (tiga) syarat
sebagai berikut:
1. Ada unsur kesengajaan;
2. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa);
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf.
Kesalahan mencakup dua pengertian,
yakni kesalahan dalam arti luas (terdapat kelalaian dan kesengajaan) dan
kesalahan dalam arti sempit (hanya berupa kesengajaan). Apabila seseorang pada
waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul bahwa perbuatannya akan
berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain maka dapat dikatakan
bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggung-jawabkan. Syarat
untuk dapat dikatakan, bahwa seseorang itu tahu betul akan adanya akibat itu,
ialah bahwa seseorang itu tahu hal adanya keadaan-keadaan sekitar perbuatannya
yang tertentu itu, yaitu keadaan-keadaan yang menyebabkan kemungkinan akibat
itu akan terjadi. Dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdt.,
pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melawan
hukum hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila
perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya. Vollmar menyatakan bahwa
pembuat undan-gundang menerapkan istilah schuld (kesalahan) dalam beberapa arti
yaitu:
a. Pertanggungan jawab si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian,
yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut;
b. Kealpaan sebagai lawan kesengajaan;
c. Sifat melawan hukum.
Dari segi berat ringannya, derajat
kesalahan dari pelaku perbuatan melawan hukum, maka dibandingkan dengan
perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan unsur kelalaian, maka perbuatan
melawan hukum yang dilakukan dengan unsure kesengajaan derajat kesalahannya
lebih tinggi. Jika seseorang yang dengan sengaja merugikan orang lain (baik
untuk kepentingannya sendiri atau bukan), berarti dia telah melakukan perbuatan
yang melanggar hukum tersebut dalam arti yang sangat serius ketimbang
dilakukannya hanya sekedar kelalaian belaka.
1. Kesengajaan Dalam Unsur Kesalahan
Unsur kesengajaan dalam perbuatan
melawan hukum dianggap ada apabila dengan perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja tersebut telah menibulkan konsekuensi tertentu terhadap fisik dan/atau
mental atau harta benda korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk
melukai (fisik atau mental) dari korban tersebut.79 Van Bemmelen dan Van Hattum
telah mengemukakan adagium “tiada hukuman tanpa kesalahan” dan Rutten telah
berusaha menerapkan adagium tersebut dalam bidnag perdata dengan mengemukakan
tiada pertanggungan gugat atas akibat-akibat daripada perbuatannya yang melawan
hukum tanpa kesalahan atau sebagaimana dikemukakan oleh Meyers bahwa perbuatan
melawan hukum mengharuskan adanya kesalahan (een onrechtmatige daad verlangt
schuld).[34]
Unsur kesengajaan dianggap eksis
dalam suatu tindakan manakala memenuhi elemen-elemen sebagai berikut:
1. Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan;
2. Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi, bukan hanya adanya
perbuatan saja;
3. Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi,
melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut “pasti” dapat
menimbulkan konsekuensi tersebut.
Suatu perbuatan dilakukan dengan
sengaja jika terdapat maksud (intent) dari pihak pelakunya. Dalam hubungan
dengan akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindakan kesengajaan tersebut, “rasa
keadilan” memintakan agar hukum lebih memihak kepada korban dari tindakan
tersebut, sehingga dalam hal ini hukum lebih menerima pendekatan yang
“objektif”. Artinya, hukum lebih melihat kepada akibat dari tindakan tersebut
kepada para korban, daripada melihat apa maksud yang sesungguhnya dari si
pelaku, meskipun masih dengan tetap mensyaratkan adanya unsur kesengajaan
tersebut. Semakin berkembangnya peradaban manusia dan dengan semakin baik dan
pastinya penegakan hukum terhadap perbuatan melawan hukum, maka fakta sekarang
menunjukkan bahwa kuantitas dari kasus-kasus perbuatan melawan hukum dalam
bentuk kesengajaan semakin berkurang dan sebaliknya kuantitas perbuatan melawan
hukum dalam bentuk kelalaian semakin bertambah banyak, seirama dengan semakin
bertambah banyaknya kasus tentang tanggung jawab tanpa kesalahan (strict
liability).
Dalam masalah perlindungan
lingkungan hidup, berdasarkan perkembangan yurisprudensi di Nederland tampak adanya
pergeseran dari pertanggungjawaban atas dasar kesalahan
(schuldaansprakelijkheid) ke arah pertanggung jawaban atas dasar risiko
(risicoaansprakelijkheid).[35]
Akan tetapi, di kalangan teoritisi di Nederland, masih belum terdapat kesatuan
pendapat terutama perbedaan pendapat. Prof. Mr. J. M. Van Dunne berpendapat
bahwa pertanggung jawaban atas perbuatan melawan hukum dalam masalah lingkungan
hidup berdasarkan hasil penelitiannya terhadap beberapa arrest penting,
menunjukkan tendensi yang bergerak ke arah risicoanspraakelijkheid86,
setidak-tidaknya bersifat pseudorisico 82 Dalam hal ini, perlu dibedakan antara
istilah “maksud” dengan “motif”. Istilah “maksud” diartikan sebagai suatu
keinginan untuk menghasilkan suatu akibat tertentu. Jika kita menyulut api ke
sebuah mobil, tentu tindakan tersebut. Akan tetapi, motif dari membakar mobil
tersebut bisa bermacam-macam, misalnya motifnya adalah sebagai tindakan balas
dendam, protes, menghukum, membela diri, dan lain-lain.
Sebaliknya, Prof. Mr. J. B. M.
Vranken tidak sependapat sama sekali dengan Van Dunne dengan mengatakan bahwa
menurut hukum yang berlaku sekarang, yang lalu, maupun yang akan datang adalah
tetap didasarkan pada adanya kesalahan, sebab Nederland tidak mengenal adanya pertanggung
jawaban secara umum untuk hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang dapat menciptakan
keadaan berbahaya. Apabila diterapkan sistem risico aansprakelijkheid maka
otomatis si pelaku pencemaran bertanggung jawab sekalipun tidak ada kesalahan
padanya, dan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan. Di sini kita dihadapkan
pada ajaran tentang strict liability, di mana pertanggung jawaban ada pada si
pelaku pencemaran secara mutlak, terlepas dari fakta apakah terdapat kesalahan
atau tidak pada pihaknya.[36]
Tidak ada persyaratan tentang perlu adanya kesalahan merupakan cirri utama
strict liability. Dengan berkembangnya industry yang makin menghasilkan risiko
yang bertambah besar dan makin rumitnya hubungan sebab akibat maka teori hukum
telah meninggalkan konsep kesalahan dan berpaling ke konsep risiko.[37]
Pasal 1365 KUHPerdt. mengandung prinsip “liability based on fault” dengan beban
pembuktian pada penderita. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 1865 KUHPerdt90.
Sampai saat ini strict liability dalam Pasal 1365 KUHPerdt.
Masih dan hanya diterapkan secara
khusus dalam pasal-pasal tertentu, antara lain Pasal 1367 KUHPerdt. yang
mengatur mengenai tanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum yang
dilakukan orang lain, misalnya 86 Inti dari ajaran risico ialah dengan
diciptakannya keadaan berbahaya menimbulkan risiko yang terletak pada pihak
yang melakukan perbuatan atau yang melakukan pengotoran/pencemaran dan bahwa
karenanya diwajibkan untuk mengambil tindakan-tindakan tersebut dengan
sendirinya berakibat bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. 90 Pasal 1865
KUHPerdt.: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau
guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk
pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut” tanggung jawab orang tua/wali terhadap anak-anaknya yang belum
dewasa, majikan terhadap bawahan mereka, guru dan kepala tukang bertanggung
jawab terhadap murid-murid dan tukang-tukang mereka.
2. Kelalaian Dalam Unsur Kesalahan
Dalam sejarah hukum, mula-mulanya
kelalaian tidak diterima sebagai suatu bidang perbuatan melawan hukum yang
berdiri sendiri. Di negara-negara Eropa Kontinental barulah setelah kasus
Lindenbaum vs. Cohen, perbuatan kelalaian (ketidak hati-hatian) yang berupa
pelanggaran terhadap kebiasaan dan kepatutan dalam masyarakat, diterima sebagai
suatu bagian dari perbuatan melawan hukum. Namun demikian di negara-negara
Common Law, pengakuan perbuatan kelalaian sebagai bidang yang mandiri dari
perbuatan melawan hukum telah diterima sejak awal abad ke-19. Pada tahap-tahap
awal perkembangannya, perbuatan kelalaian diterima dalam kasus-kasus kelalaian
dari orang yang menjalankan kepentingan publik, seperti dokter dan pengangkut manusia.
Perkembangan pengakuan terhadap perbuatan di awal abad ke-19 tersebut mempunyai
hubungan sebab-akibat dengan perkembangan revolusi industri saat itu. Sebab,
banyak juga kasus kelalaian diterapkan terhadap kasus-kasus kelalaian pelaku
industri yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian pengertian
perbuatan melawan hukum dalam arti luas: bahwa perbuatan itu tidak saja
melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya
atau yang berbuat, tetapi perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan
kepantasan terhadap diri atau benda orang lain, yang seharusnya ada di dalam
masyarakat, dalam arti bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tidak
tertulis, seperti adat istiadat dan lain-lain.
unsur-unsur perbuatan melawan hukum
yang dikemukakan oleh para sarjana di atas mempunyai maksud dan tujuan yang
sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari
suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang
digunakan dan ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu
merupakan perbuatan melawan hukum
DAFTAR PUSTAKA
Fuady I., Munir, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005
Fuady II., Munir, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002
H.F.A.Volmar, Pengantar Study Hukum Perdata (Diterjemahkan
Oleh I.S.
Adiwinata), Rajawali Pers, Jakarta,
2004.
Abdulkadir., Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung,
2002
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006
R. Suryatin, Hukum Perikatan, Pradnya Paramita, Jakarta,
2001,
Prodjodikoro, R. Wirjono., Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur,
Bandung, 2003,
Abdulhay., Marheinis, Hukum Perdata, Pembinaan UPN, Jakarta,
2006,
Munir Fuady III., Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis, PT. Citra
Aditya Bhakti, Bandung, 2001
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung,
2007,
M. Yahya Harahap., Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni,
Bandung, 2002,
N.E. Algra., Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, 2003,
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung:,
2002,
[1]
Munir Fuady I, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,
hal. 80
[2]
Ibid, hal. 81
[3] Ibid, hal.3
[4]
Munir Fuady II, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hal.3
[5].H.F.A.Volmar, Pengantar Study Hukum Perdata
(Diterjemahkan Oleh I.S. Adiwinata), Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal.184.
[6] Ibid., hal.185
[7] Abdulkadir
Muhammad., Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002, hal.142
[8] Ibid, hal.144.
[9] Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.21
[10] Ibid, hal.24
[11] R. Suryatin, Hukum Perikatan, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2001, hal.82.
[12] Ibid, hal.83
[13] R. Wirjono
Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur, Bandung, 2003, hal.72.
[14] Abdulkadir
Muhammad., Op.Cit, hal.148
[15] Marheinis Abdulhay, Hukum Perdata, Pembinaan
UPN, Jakarta, 2006, hal.83
[16]
R. Wirjono Prodjodikoro, hal. 85.
[17] Abdulkadir Muhammad., Op.Cit, hal.147.
[18] Marheinis
Abdulhay., Op.Cit, hal.84.
[19] Ibid, hal.85
[20] R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina
Cipta, Bandung, 2007, hal.87
[21] Marheinis Abdulhay, Op.Cit, hal.82
[22] Ibid, hal.83
[23] M. Yahya
Harahap., Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2002, hal.42
[24] Marheinis Abdulhay., Op.Cit, hal.89
[25]
N.E. Algra., Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, 2003, hal.549.
[26] M. Yahya
Harahap., Op.Cit, hal.61
[27] Abdulkadir Muhammad., Op.Cit, hal.39.
[28] Ibid, hal.41
[29] Ibid, hal.42
[30] J. Satrio,
Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 2002, hal.47
[31]
Ibid, hal.49
[32] Munir Fuady III., Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang
Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, hal.34
[33]
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan
Melanggar Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal 40-44.
[34] Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1982), hal 68 seperti dikutip oleh Rosa Agustina dalam
Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 36.
[35] Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan
oleh Hakim Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 30. seperti
dikutip oleh Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program
Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 48
[36] Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan
oleh Hakim Perdata, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1993), hlm. 30. seperti
dikutip oleh Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program
Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 49
[37] Sri Setianingsih Suwardi, Perbuatan Melawan Hukum
Secara Khusus, Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum, BPHN,
1996/1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar