Jumat, 20 Juli 2018

Makalah FILSAFAT HUKUM ISLAM SKETSA HISTORIK



FILSAFAT HUKUM ISLAM
SKETSA HISTORIK



lambang.jpg
 









Tugas makalah ini untuk melancarkan dalam Mk Filsafat Hukum Islam

Rudi iskandar

Dosen pembimbing
Syahril Jamil, M.Ag





JURUSAN AHWAL SYAHKSIYAH, FAKULTAS SYARI’AH,
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2016  




SKETSA HISTORIK

A.    Masa kenabian 610 – 632 M
Nabi dilahirkan pada tahun 570 M. pada usia 40 tahun, ia menerima wahyu pertama: “Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan tuhanmu adalah yang mahamulia, yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak ia ketahui. “ ayat ini menunjukkan makna penting pengetahuan, karena pengetahuan menyebabkan orang bisa membedakan baik da buruk.
Masa kenabian dimulai pada tahun 610 M dan berakhir dengan kematian beliau pada tahun 632 M. selama masa ini, Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama. Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah untuk menuntun ke jalan yang benar. Periode kenabian berlangsung selama 22 tahun,dengan rincian 12 tahun di Mekah sebelum Hijrah dan sisanya 10 tahun di madinah. Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Sunnah berisi sabda, perbuatan dan takrir (penetapan) Nabi SAW. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber Hukum Utama.

B.     Periode Khulafa Al-Rasyidin 11-40 H (632-661)
Selama Rasul masih hidup, para sahabat tidak memiliki keraguan apapun karena beliau ada karena beliau ada di tengah – tengah mereka untuk membimbing mereka dan menghadapi situasi baru dengan wahyu, tetapi setelah Rasul wafat wahyu berhenti turun dan para sahabat harus bekerja keras untuk menyimpulkan hukum dari Al- Qur’an dan Sunnah.
Para sahabat, dalam rangka menyimpulkan hukum dari kedua sumber ini, menggunakan qiyas  dan ijma. Problem pertama yang mereka hadapi ialah pemilihan Abu Bakar Sebagai khalifah. Nabi pernah minta Abu Bakar Untuk mengimami salat jama’ah sebelum Nabi wafat. Para sahabat pun memilih aAbu Bakar sebagai  Khalifah dengan menggunakan analogi bahwa barangsiapa yang menjadi pemimpin Agama harus menjadi pemimpin Dunia. Di sini sebabnya jelas dan Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin mereka dengan menggunakan analogi, qiyas.
Prosedur yang mereka tempuh untuk mempertahankan bentuk hukum yang ideal bisa dijelaskan sebagai qiyas tamm (trick analoqy) jika kausanya jelas dan kuat, ta’wil (analogy) jika kausnya tidak jelas. Ta’wil adalah untuk menemukan sebab dari aturan yang diwahyukan. Guna dikembangkan ke dalam kasus – kasus serupa, dengan menunjuk kepada kata – kata dari aturan yang di wahyukan (nash), pengertian yang implisit di dalamnya, konteks yang menyertainya, maupun hadits – hadits Nabi karena hadits berfungsi tidak hanya menjelaskan Al-Qur’an tetapi juga melengkapinya. Para sahabat tidak menggunakan pendapat pribadi atau penalaran mereka, karena penalaran hanyalah praduga,  yang hampir tidak pernah bisa menggantikan kebenaran, dan hati mereka ingat sabda Nabi: “Barangsiapa menjelaskan al-Qur’an, dengan menggunakan pendapat pribadinya maka ia harus siap untuk menduduki tempatnya di api neraka”. Keseluruhan prosedur itu akan dijelaskan kemudian, dalam perspektifnya yang benar.
Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah meyuguhkan kepada kita contoh tentang analogi dan ijma’ sekaligus, karena pemilihan itu didukung oleh kesepakatan umum yang karenanya mencapai status ijma’. jadi, analogy (qiyas) dan ijma’ diakui sebagai sumber hukum tetapi berada di bawah tingkatan sumber primer atau orisinal, Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi sumber hukum adalah: (1) Al-Qur’an, (2) sunnah, (3) Ijma’ dan (4) qiyas. Di sini bisa dilihat bahwa keabsahan ijma’ dibuktikan oleh sabda Nabi: “ Umatku tidak akan bersepakatan untuk melakukan sesuatu yang salah,’’ dan sebuah dduksi analogis dari seseorang ( yang berhak melalukannya) menjadi ijma’ jika didukung oleh kesepakatan umum da analogi merupakan “perluasan hukum dari nash ke dalam kasus khusus melalui sebab umum atau illat”.
Periode khulafa Al-Rasyidin, yang berlangsung selama kira – kira 30 tahun itu, amat penting karena terjadi suatu revolusi menentang keimanan islam, yang diselesaikan dengan tegas oleh Abu Bakar.
Masa ini disebut periode pengumpulan Al-Qur’an. Kata Al-Qur’an secara literal berarti bacaan. Kitab suci ini dinamakan demikian karena wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi adalah “bacalah”. Jadi, seorang yang beriman dan diperintahkan untuk membaca dan memahami artinya di samping mengetahui apa yang untuk dirinya sendiri dan apa yang menetang dirinya. Al-Qur’an merupakan suatu tatanan tentang perbuatan baik dan merupakan ekspresi perintah Allah yang harus ditaati oleh masyarakat dan negara. Kitab suci ini masih berdiri kokoh, bahkan hingga sekarang, sebagai sebuah mukjizat dalam kepasihannya, karena tidak seorang pun mampu membuat satu surat yang menyamai (satu surat)nya, termasuk Nabi sendiri tidak mampu membuatnya demikian fasih dan dalam bahasa yang seindah itu, karena beliau buta huruf. Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa tetapi, seperti kata Pickthal, hasilnya bukanlah Al-Qur’an suci, yang memiliki simponi yang tidak dapat ditiru, yang setiap katanya mengerakkan manusia berlinang bahagia – terjemahan itu takkan pernah sebanding dengan Al-Qur’an dalam bahasa Arab.
Tidak ada kitab di dunia ini yang seperti Al-Qur’an untuk melayani demikian banyak orang berbakat, demikian banyak tenaga, demikian banyak waktu dan uang telah dibelanjakan. Di sampiing itu, ia dijaga secara amat ketat. Walaupun termuda, Al-Qur’an merupakan kitab (suci) yang paling banyak dibaca.
Sebagaimana telah disebutkan,wahyu dalam kitab ini tidak diturunkan sekaligus tetapi secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang timbul. Nabi menerimanya sangat hati – hati dan meminta para pengikutnya tidak berlangsung kira – kira 23 tahun dari kehidupan beliau setelah di agkat menjadi Nabi.
Dari keterangan di atas jelas bahwa ayat – ayat Al-Qur’an dikumpulkan dibawah pengawasan negara, tetapi tidak demikian halnya dengan hadits nabi. Tidak bisa dibantah bahwa hadits – hadits ini juga untuk dihafal. Bahkan ditulis yang dibuktikan oleh penelitian terbaru. Harus diakui bahwa sejumlah hadits palsu menyusup ke dalam literatur hadits. Ini terutama dikarenakan partisan – partisan yang terlalu fanatik yang menciptakan dan menegaskan bahwa pernyataan – pernyataan itu berasal dari Nabi guna mendukung klaim – klaim mereka dalam perang sipil atau fitnah yang muncul setelah situasi pemilihan pada masa – masa pemerintahan Khalifah Rasyidah telah berakhir. Tetapi tugas meyeleksi hadits palsu dan hadits asli dilakukan oleh orang amat saleh dan terpelajar semisal Imam Al-Bukhari, Muslim dan lain – lain pada belahan kedua abad ke-3. Menerima hanya hadits – hadits otentik Nabi berbasarkan pada mata rantai periwayat (rawi) yang amat kuat.

C.     Periode bani Umayah: 41 – 132 H (661 – 750 M )
Dengan Ali, khalifah keempat (41H), periode khulafa’ al-Rasyidin pun berakhir. Langkah awal yang diambil oleh dinasti Umayah adalah memindahkan pusat kegiatan politik dari madinah ke Damaskus di siria. Filsafat politiik mereka lebih bersifat duniawi daripada spritual. Sebagai raja yang bersifat otokrasi, mereka dikendalikan oleh pendapat pribadi mereka dalam mengambil keputusan politik, ekonomi dan diplommatik. Tetapi pengecualian yang jelas mungkin ada pada “Umar bin ‘Abd al-‘Aziz yang dicatat tidak hanya karena kesalehannya tetapi juga karena pengetahuannya yang luas tentang hukum dan hadits Nabi.
Periode umayah secara umum ditandai dengan pengangkatan para hakim untuk menyeleksaikan perselisihan dengan kemampuan yang tidak dibatasi untuk meyelesaikan perselisihan dengan kemampuan yang tidak dibatasi untuk memutuskan kasus – kasus yang dihadapi berdasarkan pendapat pribadi mereka (ra’yu). Tidak ada pengaruh penyeragaman yang ditekankan pemerintah pusat dan tidak ada hierarki pengadilan yang mengikat preseden – preseden yang mungkin menyeragamkan sistem dalam menanggapi suatu kasus. Juga tidak dapat dikatakan bahwa – hukum Al-Qu’an meyediakan unsur pemersatu yang kuat. Selain bidang yang terbatas ini, baik apakah norma – norma al-Qur’an diterapkan atau tidak sama sekali, benar – benar tergantung pada tingkat pengetahuan dan kesalehan yang dimiliki oleh seorang hakim. Tetapi bahkan bagi hakim yang saleh, penafsiran atas ketetapkan al-Qur’an sebagian besar merupakan masalah kebijaksanaan personal, sehingga selain peraturan – peraturan yang sederhana da mendasar, aplikasi mereka sering ditambah daripada dikurangi dari perbedaan yang umum dalam praktek hukum.
Disini, hukum Tuhan tunduk pada akal yang dipergunakan hanya untuk merusak dan mengubah hukum. Orang – orang Bani umayah sebagai penguasa dicela karena tidak memperdulikan prinsip – prinsip fundamental hukum, yang mengakibatkan bani Abasiyah Berkuasa pada tahun 132 H (1750 M).

D.    Periode Abasiya, 132 – 656 H (750 – 1258 M)
Periode Abasiyah adalah periode yang baik untuk mempelajari sistematika hukum islam. Pada periode ini beberapa aliran hukum (islam) muncul, di mna yang monumental di antaranya adalah empat aliran sunni yang dikaitkan denga nama Abu Hanafiah, malik bin Anas, Syafi’iah dan Ahmad bin Hanbal.










PENUTUP

Kesimpulan
Masa kenabian dimulai pada tahun 610 M dan berakhir dengan kematian beliau pada tahun 632 M. selama masa ini, Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama. Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah untuk menuntun ke jalan yang benar. Periode kenabian berlangsung selama 22 tahun,dengan rincian 12 tahun di Mekah sebelum Hijrah dan sisanya 10 tahun di madinah.
Periode khulafa Al-Rasyidin, yang berlangsung selama kira – kira 30 tahun itu, amat penting karena terjadi suatu revolusi menentang keimanan islam, yang diselesaikan dengan tegas oleh Abu Bakar. Masa ini disebut periode pengumpulan Al-Qur’an.
Periode umayah secara umum ditandai dengan pengangkatan para hakim untuk menyeleksaikan perselisihan dengan kemampuan yang tidak dibatasi untuk meyelesaikan perselisihan dengan kemampuan yang tidak dibatasi untuk memutuskan kasus – kasus yang dihadapi berdasarkan pendapat pribadi mereka (ra’yu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar