FILSAFAT HUKUM ISLAM
SKETSA HISTORIK
![]() |
Tugas makalah
ini untuk melancarkan dalam Mk Filsafat Hukum Islam
Rudi iskandar
Dosen pembimbing
Syahril Jamil, M.Ag
JURUSAN AHWAL SYAHKSIYAH, FAKULTAS SYARI’AH,
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2016
SKETSA
HISTORIK
A.
Masa kenabian 610 – 632 M
Nabi
dilahirkan pada tahun 570 M. pada usia 40 tahun, ia menerima wahyu pertama:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan tuhanmu adalah yang mahamulia, yang mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak ia ketahui. “ ayat ini menunjukkan makna penting pengetahuan, karena
pengetahuan menyebabkan orang bisa membedakan baik da buruk.
Masa
kenabian dimulai pada tahun 610 M dan berakhir dengan kematian beliau pada
tahun 632 M. selama masa ini, Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama. Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah untuk
menuntun ke jalan yang benar. Periode kenabian berlangsung selama 22
tahun,dengan rincian 12 tahun di Mekah sebelum Hijrah dan sisanya 10 tahun di
madinah. Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Sunnah berisi
sabda, perbuatan dan takrir (penetapan) Nabi SAW. Al-Qur’an dan Sunnah
merupakan sumber Hukum Utama.
B. Periode Khulafa
Al-Rasyidin 11-40 H (632-661)
Selama Rasul masih hidup, para sahabat tidak memiliki
keraguan apapun karena beliau ada karena beliau ada di tengah – tengah mereka
untuk membimbing mereka dan menghadapi situasi baru dengan wahyu, tetapi
setelah Rasul wafat wahyu berhenti turun dan para sahabat harus bekerja keras
untuk menyimpulkan hukum dari Al- Qur’an dan Sunnah.
Para sahabat, dalam rangka menyimpulkan hukum dari kedua
sumber ini, menggunakan qiyas dan
ijma. Problem pertama yang mereka hadapi ialah pemilihan Abu Bakar
Sebagai khalifah. Nabi pernah minta Abu Bakar Untuk mengimami salat jama’ah
sebelum Nabi wafat. Para sahabat pun memilih aAbu Bakar sebagai Khalifah dengan menggunakan analogi bahwa
barangsiapa yang menjadi pemimpin Agama harus menjadi pemimpin Dunia. Di sini
sebabnya jelas dan Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin mereka dengan menggunakan
analogi, qiyas.
Prosedur yang mereka tempuh untuk mempertahankan bentuk
hukum yang ideal bisa dijelaskan sebagai qiyas tamm (trick analoqy) jika
kausanya jelas dan kuat, ta’wil (analogy) jika kausnya tidak jelas. Ta’wil
adalah untuk menemukan sebab dari aturan yang diwahyukan. Guna dikembangkan ke
dalam kasus – kasus serupa, dengan menunjuk kepada kata – kata dari aturan yang
di wahyukan (nash), pengertian yang implisit di dalamnya, konteks yang
menyertainya, maupun hadits – hadits Nabi karena hadits berfungsi tidak hanya
menjelaskan Al-Qur’an tetapi juga melengkapinya. Para sahabat tidak menggunakan
pendapat pribadi atau penalaran mereka, karena penalaran hanyalah praduga, yang hampir tidak pernah bisa menggantikan
kebenaran, dan hati mereka ingat sabda Nabi: “Barangsiapa menjelaskan al-Qur’an,
dengan menggunakan pendapat pribadinya maka ia harus siap untuk menduduki
tempatnya di api neraka”. Keseluruhan prosedur itu akan dijelaskan kemudian,
dalam perspektifnya yang benar.
Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah meyuguhkan kepada
kita contoh tentang analogi dan ijma’ sekaligus, karena pemilihan itu didukung
oleh kesepakatan umum yang karenanya mencapai status ijma’. jadi, analogy
(qiyas) dan ijma’ diakui sebagai sumber hukum tetapi berada di bawah tingkatan
sumber primer atau orisinal, Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi sumber hukum adalah:
(1) Al-Qur’an, (2) sunnah, (3) Ijma’ dan (4) qiyas. Di sini bisa dilihat bahwa
keabsahan ijma’ dibuktikan oleh sabda Nabi: “ Umatku tidak akan bersepakatan
untuk melakukan sesuatu yang salah,’’ dan sebuah dduksi analogis dari seseorang
( yang berhak melalukannya) menjadi ijma’ jika didukung oleh kesepakatan umum
da analogi merupakan “perluasan hukum dari nash ke dalam kasus khusus melalui
sebab umum atau illat”.
Periode khulafa Al-Rasyidin, yang berlangsung selama kira
– kira 30 tahun itu, amat penting karena terjadi suatu revolusi menentang
keimanan islam, yang diselesaikan dengan tegas oleh Abu Bakar.
Masa ini disebut periode pengumpulan Al-Qur’an. Kata
Al-Qur’an secara literal berarti bacaan. Kitab suci ini dinamakan demikian
karena wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi adalah “bacalah”. Jadi,
seorang yang beriman dan diperintahkan untuk membaca dan memahami artinya di
samping mengetahui apa yang untuk dirinya sendiri dan apa yang menetang
dirinya. Al-Qur’an merupakan suatu tatanan tentang perbuatan baik dan merupakan
ekspresi perintah Allah yang harus ditaati oleh masyarakat dan negara. Kitab
suci ini masih berdiri kokoh, bahkan hingga sekarang, sebagai sebuah mukjizat
dalam kepasihannya, karena tidak seorang pun mampu membuat satu surat yang
menyamai (satu surat)nya, termasuk Nabi sendiri tidak mampu membuatnya demikian
fasih dan dalam bahasa yang seindah itu, karena beliau buta huruf. Al-Qur’an
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa tetapi, seperti kata Pickthal,
hasilnya bukanlah Al-Qur’an suci, yang memiliki simponi yang tidak dapat
ditiru, yang setiap katanya mengerakkan manusia berlinang bahagia – terjemahan
itu takkan pernah sebanding dengan Al-Qur’an dalam bahasa Arab.
Tidak ada kitab di dunia ini yang seperti Al-Qur’an untuk
melayani demikian banyak orang berbakat, demikian banyak tenaga, demikian
banyak waktu dan uang telah dibelanjakan. Di sampiing itu, ia dijaga secara
amat ketat. Walaupun termuda, Al-Qur’an merupakan kitab (suci) yang paling
banyak dibaca.
Sebagaimana telah disebutkan,wahyu dalam kitab ini tidak
diturunkan sekaligus tetapi secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang
timbul. Nabi menerimanya sangat hati – hati dan meminta para pengikutnya tidak
berlangsung kira – kira 23 tahun dari kehidupan beliau setelah di agkat menjadi
Nabi.
Dari keterangan di atas jelas bahwa ayat – ayat Al-Qur’an
dikumpulkan dibawah pengawasan negara, tetapi tidak demikian halnya dengan
hadits nabi. Tidak bisa dibantah bahwa hadits – hadits ini juga untuk dihafal. Bahkan
ditulis yang dibuktikan oleh penelitian terbaru. Harus diakui bahwa sejumlah
hadits palsu menyusup ke dalam literatur hadits. Ini terutama dikarenakan
partisan – partisan yang terlalu fanatik yang menciptakan dan menegaskan bahwa
pernyataan – pernyataan itu berasal dari Nabi guna mendukung klaim – klaim
mereka dalam perang sipil atau fitnah yang muncul setelah situasi pemilihan
pada masa – masa pemerintahan Khalifah Rasyidah telah berakhir. Tetapi tugas
meyeleksi hadits palsu dan hadits asli dilakukan oleh orang amat saleh dan
terpelajar semisal Imam Al-Bukhari, Muslim dan lain – lain pada belahan kedua
abad ke-3. Menerima hanya hadits – hadits otentik Nabi berbasarkan pada mata
rantai periwayat (rawi) yang amat kuat.
C. Periode bani Umayah: 41 –
132 H (661 – 750 M )
Dengan Ali, khalifah keempat (41H), periode khulafa’
al-Rasyidin pun berakhir. Langkah awal yang diambil oleh dinasti Umayah adalah
memindahkan pusat kegiatan politik dari madinah ke Damaskus di siria. Filsafat
politiik mereka lebih bersifat duniawi daripada spritual. Sebagai raja yang
bersifat otokrasi, mereka dikendalikan oleh pendapat pribadi mereka dalam
mengambil keputusan politik, ekonomi dan diplommatik. Tetapi pengecualian yang
jelas mungkin ada pada “Umar bin ‘Abd al-‘Aziz yang dicatat tidak hanya karena
kesalehannya tetapi juga karena pengetahuannya yang luas tentang hukum dan
hadits Nabi.
Periode umayah secara umum ditandai dengan pengangkatan
para hakim untuk menyeleksaikan perselisihan dengan kemampuan yang tidak
dibatasi untuk meyelesaikan perselisihan dengan kemampuan yang tidak dibatasi
untuk memutuskan kasus – kasus yang dihadapi berdasarkan pendapat pribadi
mereka (ra’yu). Tidak ada pengaruh penyeragaman yang ditekankan pemerintah pusat
dan tidak ada hierarki pengadilan yang mengikat preseden – preseden yang
mungkin menyeragamkan sistem dalam menanggapi suatu kasus. Juga tidak dapat
dikatakan bahwa – hukum Al-Qu’an meyediakan unsur pemersatu yang kuat. Selain
bidang yang terbatas ini, baik apakah norma – norma al-Qur’an diterapkan atau
tidak sama sekali, benar – benar tergantung pada tingkat pengetahuan dan
kesalehan yang dimiliki oleh seorang hakim. Tetapi bahkan bagi hakim yang
saleh, penafsiran atas ketetapkan al-Qur’an sebagian besar merupakan masalah
kebijaksanaan personal, sehingga selain peraturan – peraturan yang sederhana da
mendasar, aplikasi mereka sering ditambah daripada dikurangi dari perbedaan
yang umum dalam praktek hukum.
Disini, hukum Tuhan tunduk pada akal yang dipergunakan
hanya untuk merusak dan mengubah hukum. Orang – orang Bani umayah sebagai
penguasa dicela karena tidak memperdulikan prinsip – prinsip fundamental hukum,
yang mengakibatkan bani Abasiyah Berkuasa pada tahun 132 H (1750 M).
D. Periode Abasiya, 132 – 656
H (750 – 1258 M)
Periode Abasiyah adalah periode yang baik untuk
mempelajari sistematika hukum islam. Pada periode ini beberapa aliran hukum
(islam) muncul, di mna yang monumental di antaranya adalah empat aliran sunni
yang dikaitkan denga nama Abu Hanafiah, malik bin Anas, Syafi’iah dan Ahmad bin
Hanbal.
PENUTUP
Kesimpulan
Masa
kenabian dimulai pada tahun 610 M dan berakhir dengan kematian beliau pada
tahun 632 M. selama masa ini, Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama. Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah untuk
menuntun ke jalan yang benar. Periode kenabian berlangsung selama 22
tahun,dengan rincian 12 tahun di Mekah sebelum Hijrah dan sisanya 10 tahun di
madinah.
Periode khulafa Al-Rasyidin, yang berlangsung selama kira
– kira 30 tahun itu, amat penting karena terjadi suatu revolusi menentang
keimanan islam, yang diselesaikan dengan tegas oleh Abu Bakar. Masa ini disebut
periode pengumpulan Al-Qur’an.
Periode umayah secara umum ditandai dengan pengangkatan
para hakim untuk menyeleksaikan perselisihan dengan kemampuan yang tidak
dibatasi untuk meyelesaikan perselisihan dengan kemampuan yang tidak dibatasi
untuk memutuskan kasus – kasus yang dihadapi berdasarkan pendapat pribadi
mereka (ra’yu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar