PEMBAHASAN
A.
Pengertian riba
Asal makna riba menurut bahasa
Arab (raba-yarbu) atau dalam bahasa Inggrisnya usury/interest ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition)
pada suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Sedangkan
menurut istilah riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan
persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Atau riba bisa juga diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Misalnya si A memberi pinjaman
kepada si B, dengan Syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman beserta
sekian persen tambahannya. Riba termasuk transaksi jual beli yang haram. Adapun yang dimaksud
disini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran
tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara’, atau
terlambat menerimanya.(Maulana muhammad ali,1950:721)
B. Hukum riba
Riba dengan segala bentuknya
adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan
ijma’ ulama. Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (Al-Baqarah : 275)
Juga terdapat dalam firman Allah yang lainya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا
بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ
وَلَا تُظْلَمُونَ ﴿٢٧٩﴾
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkanlah
sisa-sisa riba. jika memang
kamu orang yang
beriman. Jika kamu
tidak melakukannya, maka terimalah
pernyataan perang dari Allah
dan rasul Nya
dan jika kalian
bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak
berbuat zalim dan tidak pula dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a.
Hadits Abu Hurairah z:
“Jauhilah tujuh perkara yang menghan-curkan –di antaranya–
memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
b.
Hadits Abu Juhaifah z riwayat Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang
dilaknat adalah pemakan riba, pemberi makan orang lain dengan riba, penulis dan
dua saksinya, lalu Nabi n menyatakan:
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba
adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh
Ibnu Taimiyah sebagai berikut: “Tidak
ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam
Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
C.
Jenis-jenis riba
Secara umum riba terbagi
menjadi dua bagian, yakni riba nasi’ah dan riba al-fadhl.
1.
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah (riba yang jelas,
diharamkan karena keadaanya sendiri) diambil dari kata an-nasu’, yang berarti
menunda, jadi riba ini terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang.
Penjelasannya sebagai berikut.Tambahan yang disyaratkan, yang diambil oleh orang
yang memberi hutang dari orang yang berhutang. .
Misalnya, si A meminjam satu
juta rupiah kepada si B dengan janji waktu setahun pengembalian hutangnya.
Setelah jatuh temponya, si A belum bisa mengembalikan hutangnya kepada si B,
maka si A menyanggupi untuk memberi tambahan dalam pembayaran hutangnya. jika
si B mau menambah/menunda jangka waktunya. atau si B menawarkan kepada si A,
“apakah engkau akan membayarnya atau menundanya kembali dengan menanggung
bunga?” Jika si B membayarnya, maka ia tidak dikenakan tambahan. Sedangkan jika
tidak dapat membayarnya, maka ia menambahkan tangguh pembayaran dengan syarat
bahwa ia nantinya harus membayarnya dengan tambahan. Sehingga, akhirnya harta
yang menjadi tanggungan hutang orang tersebut pun menjadi terlipat ganda. Hal
ini merupakan praktek/kebiasaan Jahiliyah, Oleh karena itu, Allah mengharamkan
hal itu, dengan firmannya:
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ
مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٢٨٠﴾
“ Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (al-Baqarah: 280)
بِالْمِلْحِ وَالْمِلْحُ بِالتَّمْرِ
وَالتَّمْرُ بِالشَّعِيرِ وَالشَّعِيرُ بِالْبُرِّ وَالْبُرُّ بِالْفِضَّةِ
وَالْفِضَّةُ بِالذَّهَبِ
بِيَدٍ يَدًا كَانَ إِذَا شِئْتُمْ
كَيْفَ فَبِيعُوا الأَصْنَافُ هَذِهِ اخْتَلَفَتْ بِيَدٍ يَدًا بِسَوَاءٍ سَوَاءً
بِمِثْلٍ مِثْلاً
“Emas ditukar dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama
beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda
jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).”
(HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).
Maka dari itu jika waktu
hutang tersebut sudah jatuh tempo, sementara orang yang berhutang itu kesulitan
membayarnya, maka ia tidak boleh membalikan hutang tersebut kepadanya, tapi
harus diberikan tempo lagi. Sedangkan jika orang yang berhutang itu berpunya,
dan tidak sedang kesulitan, maka ia harus membayar hutangnya, dan tidak perlu
menambah nilai tanggungan hutangnya itu, baik orang yang berhutang itu sedang
mempunyai uang atau sedang sulit.(Abdurrahman Isa Ibnu Qayyim al-Zauji)
2.
Riba Fadhl
Riba fadhl (riba yang
samar, diharamkan karena sebab lain) berasal dari kata al-fadhl, yang
berarti tambahan dalam salah satu barang yang dipertukarkan. Riba ini terjadi
karena adanya tambahan pada jual beli benda/barang yang sejenis. Jadi syariat
telah menetapkan keharamannya dalam enam hal, yakni diantaranya adalah emas,
perak, gandum, kurma, garam. Dan jika salah satu barang-barang ini diperjual
belikan dengan jenis yang sama, maka hal itu diharamkan jika disertai dengan
adanya tambahan antara keduanya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh
Sayid Sabiq bahwa riba fadhl ialah jual beli emas/perak atau jual beli
bahan makanan dengan bahan makanan (yang sejenis) dengan ada tambahan.
Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A
mengajukan utang sebesar Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak
awal keduanya telah menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah
bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Hal ini berdasarkan dari hadist Nabi yang disampaikan Abu
Said al-Khudri (yang juga hampir senada dengan hadist yang disampaikan oleh
‘Ubadah bin al-Shamit ) :
بِالْمِلْحِ وَالْمِلْحُ بِالتَّمْرِ
وَالتَّمْرُ بِالشَّعِيرِ وَالشَّعِيرُ بِالْبُرِّ وَالْبُرُّ بِالْفِضَّةِ
وَالْفِضَّةُ بِالذَّهَبِ الذَّهَبُ سَوَاءٌ فِيهِ وَالْمُعْطِى الآخِذُ
أَرْبَى فَقَدْ اسْتَزَادَ أَوِ زَادَ فَمَنْ بِيَدٍ يَدًا بِمِثْلٍ مِثْلاً
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandunm, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama dan tunai. Maka
barang siapa yang meminta tambahan maka sesungguhnya ia memungut riba. Orang
yang mengambil dan memberikan riba itu sama dosanya.” (H.R. Ahmad, Muslim
dan Nasa’i)
Sementara
itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa
tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang
sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda
jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau
membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan
karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama
barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang
ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian
ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan
istilah khusus, yakni riba yad.
Riba ini diharamkan karena
untuk mencegah timbulnya riba nasi’ah, sehingga ia bersifat prefentif.
Sebagian Ulama ada yang membedakan antara riba nasi’ah dengan riba fadhl
seperti membedakan antara berbuat zina dengan memandang atau memegang wanita
yang bukan mahramnya dengan nafsu
syahwat. Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan karena untuk
menghindari perbuatan zina. Sebagian Ulama ada yang menambahkan selain kedua
jenis riba tersebut diatas, yakni riba yad, yaitu riba yang dilakukan
karena berpisah dari tempat akad sebelum serah terima terjadi. Kemudian
Riba qardi yaitu hutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi
hutang. Namun secara umum keduanya termasuk kedalam jenis riba nasi’ah
dan riba fadhl.
Pada dasarnya semua agama
samawi di dunia (revealed religion) melarang praktek riba, karena dapat
menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat
riba pada khususnya.(Sulaiman Rasjid,2006:290)
D. Dampak praktek riba
Adapun dampak akibat praktek dari riba itu sendiri diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Menyebabkan eksploatasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si
miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya dan si miskin tambah
sengsara
2.
Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha bila tidak disalurkan
pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan modal yang dikuasai
oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam perkreditan berbunga
yang belum produktif.
3.
Menyebabkan kesenjangan ekonomi, yang pada gilirannya bisa
mengakibatkan kekacauansosial.
4.
Bahaya buat masyarakat dan agama.
5.
Para Ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis
ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai penjiman modal atau dengan singkat
bisa disebut riba.
6.
Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli
sebagian besar masyarakat lemah sehingga persedian jasa dan barang semakin
tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan
mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan
mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.
7.
Lord keynes pernah mengeluh dihadapan Majelis Tinggi (House of Lord) inggris
tentang bunga yang diambil oleh pemerintah A.S. Hal ini menunjukkan bahwa
negara besar pun seperti inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika,
bunga tersebut menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat
meretakkan hubungan, baik hubungan antara orang perorang maupun negara antar
negara, seperti Inggris dan Amerika.
8.
Seringan-ringan dosa riba yaitu seperti halnya kita berjima'
dengan ibu kita sendiri(Ibn Majah dan al-Hakim).
9.
Mendapat laknat dan kelak di yaumil qiyamah mereka pelaku
riba, Allah dan Rasul-Nya akan memerangi mereka, dibangkitkan dalam keadaan
gila dan mereka kekal di dalam neraka.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Asal makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau
dalam bahasa Inggrisnya usury/interest
ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition) pada suatu zat,
seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Sedangkan menurut istilah
riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan
persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam.
2.
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa
besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama. Riba (termasuk bunga
bank) adalah termasuk dosa besar. Baik pemberi, penulis dan dua saksi riba
adalah sama dalam dosa dan maksiat denganpemakan riba. Tidak boleh bagi seorang
Muslim mengokohkan transaksi riba. Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum Muslimin
untuk mendirikan bank Islam sesuai dengan syari’at agama, dan menghindarkan
dari segala macam bentuk/praktek riba
3.
Secara umum Ulama membagi riba itu menjadi dua macam saja,
yaitu riba nasi’ah’ dan riba fadil, sedangkan riba yad
dan Riba qardi termasuk ke dalam riba nasi’ah dan riba
fadhl.
4.
Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah emas, perak,
dan makanan yang mengeyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan,
misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dan
dengan emas, gadum dengan gadum, diperlukan tiga syarat: (1) tunai, (2) serah
terima, dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya berlianan, tetapi ‘ilat
ribanya satu, seperti emas dengan perak, boleh tidak sama tibangannya, tetapi
mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilat ribanya berlainan
seperti perak dengan beras, boleh dijial bagaimana saja seperti barang-barang
yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.
DAFTAR PUSTAKA
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore,
The Ahmadiyah Anjuman Isha’at
Islam, 1950, hlm. 721.
Abdurrahman Isa Ibnu Qayyim al-Zauji, Al-Muamalat
al-Hadits wa Ahkamuha. Mesir…:
riba.html#sthash.pfMRvHAr.dpuf
Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir, vol.1,Cairo,Mustafa
al-Babi al-Halabi wa Auladuh,1954,hlm. 10
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru
Algensindo, 2006, hlm. 290
Tidak ada komentar:
Posting Komentar